Anjing Di Dalam Al-Qur’an

Anjing disebutkan di al-Qur’an yakni di Surah al-Maidah dan di Surah al-Kahfi. Di keduanya disebutkan bahwa anjing menjadi bagian hidupnya Muslim, dan Muslim yang beriman, yakni Mukmin. Di Surah al-Maidah disebutkan Allah (Subhanahu Wa Ta’ala) menghalalkan daging binatang buruan yang ditangkap anjing dan elang pemburu yang terlatih. Ketentuan mengenai daging binatang buruan ini disebutkan di Hadist;

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ بَيَانٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَدِيِّ، بْنِ حَاتِمٍ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قُلْتُ إِنَّا قَوْمٌ نَصِيدُ بِهَذِهِ الْكِلاَبِ فَقَالَ ‏ “‏ إِذَا أَرْسَلْتَ كِلاَبَكَ الْمُعَلَّمَةَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا فَكُلْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكَ وَإِنْ قَتَلْنَ إِلاَّ أَنْ يَأْكُلَ الْكَلْبُ فَإِنْ أَكَلَ فَلاَ تَأْكُلْ فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ وَإِنْ خَالَطَهَا كِلاَبٌ مِنْ غَيْرِهَا فَلاَ تَأْكُلْ ‏”‏ ‏.‏

‘Adi b. Hatim melaporkan: Saya bertanya kepada Rasulullah (Shalallahu Alaihissalaam) dengan mengatakan: Kami adalah orang-orang yang berburu dengan anjing-anjing (terlatih), lalu (apa yang harus kami lakukan)? Kemudian Rasulullah (Shalallahu Alaihissalaam) berkata: Ketika kalian melepas anjing-anjing pemburu kalian yang terlatih, sebutkanlah nama Allah, maka makanlah apa yang telah ditangkap (anjing) ini untuk kalian, panggang jika (hewan buruan) itu dibunuh anjingnya, asalkan (anjing pemburu) belum makan (bagian dari hewan buruan). Jika anjing pemburu sudah memakan (bagian dari hewan buruan), maka kalian tidak memakannya karena saya khawatir anjing itu makan hewan buruan untuk dirinya sendiri. Dan jangan makan hewan buruan itu jika anjing lain bergabung dengan anjing terlatih kalian.

(Shahih Bukhari Buku 21, Nomor 4733)

Mengapa Rasulullah (Shalallahu Alaihissalaam), mengatakan ketentuan yang di atas? Apa latar belakangnya? Allah (Subhanahu Wa Ta’ala), telah menciptakan manusia, bumi dan alam semesta yang berdasarkan ilmu pengetahuan alam. Jadi untuk memahami manusia, bumi dan isinya, juga alam semesta, manusia harus mempelajari ilmu pengetahuan alam. Ilmu pengetahuan apa yang berkaitan dengan pembahasan kita ini?

Kita sudah mendapatkan ayat-ayat al-Qur’an mengenai anjing, dan satu Hadist mengenai anjing. Coba kita lihat Hadist lainnya mengenai anjing. Namun sebelum kesana, Muslim harus menyadari bahwa hukum Allah (Subhanahu Wa Ta’ala), yakni al-Qur’an, kedudukannya lebih tinggi dari Hadist. Jadi tidak boleh ada Hadist yang bertentangan dengan al-Qur’an, walaupun Shahih, sehingga kita tidak boleh mendasarkan Hadist dan tidak mengindahkan atau menganulir apa-apa yang terdapat di dalam al-Qur’an. Disinilah saat ini banyak Muslim yang salah jalan, mendasarkan tindakannya dengan Hadist tanpa memperhatikan dan mengindahkan al-Qur’an.

Ada beberapa situasi ketika Hadist dihadapkan dengan al-Qur’an, yang pertama, Hadist itu mendukung pendapat al-Qur’an, dan menjelaskan al-Qur’an, seperti yang disampaikan di atas. Kedua, ketika kita melihat Hadist yang tampak bertentangan dan tidak serasi dengan al-Qur’an. Di situasi seperti ini ingatlah bahwa al-Qur’an berkedudukan lebih tinggi dari Hadist, dimana seharusnya Hadist menjadi penjelas al-Qur’an atau, di situasi yang kedua ini, Hadist menjadi pelengkap al-Qur’an. Oleh karena itu metode yang diusulkan adalah dengan mencari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan hal yang dibahas Hadist dan al-Qur’an, juga mencari semua ayat-2 al-Qur’an dan Hadist-2 yang menyebutkan perihal yang sama.

Yathrib (Medinah) adalah Kota dengan populasi manusia yang terdiri dari tiga/empat jenis pekerjaan; pedagang, peternak kambing dan unta, pemburu, petani kurma dan pandai besi. Pada saat itu di Yathrib, terjadi wabah di anjing- anjing yang dapat menulari manusia, dimana Rasulullah (Shalallahu Alaihissalaam) memerintahkan agar anjing-2 yang terpapar penyakit untuk dibunuh;

وَحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ، سَمِعَ مُطَرِّفَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، يُحَدِّثُ عَنِ ابْنِ الْمُغَفَّلِ، قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِقَتْلِ الْكِلاَبِ ثُمَّ قَالَ ‏”‏ مَا بَالُهُمْ وَبَالُ الْكِلاَبِ ‏”‏ ‏.‏ ثُمَّ رَخَّصَ فِي كَلْبِ الصَّيْدِ وَكَلْبِ الْغَنَمِ وَقَالَ ‏”‏ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِي التُّرَابِ ‏”‏ ‏.‏

Rasulullah (Shalallahu Alaihissalaam) memerintahkan pembunuhan anjing-2 (yang terkena penyakit), dan kemudian mereka berkata: Bagaimana dengan anjing-2 (yang sehat)? Dan kemudian anjing-2 (yang sehat) dibolehkan dipelihara untuk berburu dan untuk menggembala kawanan ternak, dan berkata: Ketika anjing menjilati perkakas, cucilah tujuh kali, dan gosok dengan tanah yang kedelapan kali.

(Sahih Muslim 280, Buku 2, Hadis 119)

Ungkapan dalam bahasa Arab mengenai air liur anjing ini adalah Najassah (Najis), yang berarti tidak murni, impure di dalam Bahasa Inggris. Apakah yang tidak murni? Sampai saat ini tidak ada penjelasan dari Ulama-2 dan Sarjana-2 Islam mengenai hal ini?

Dan lebih buruk dari itu, mayoritas Muslim saat ini membenci anjing karena Hadist di atas. Karena Najis membatalkan Shalat. Adakah penjelasan apakah Najis itu? Dengan membenci anjing dan tidak mau berdekatan dengan anjing, apalagi memiliki anjing, Muslim menempatkan diri mereka melawan al-Qur’an, yakni, ayat di Surah al-Maidah dan Surah al-Kahf.

Ada Hadist lain yang menyebutkan bahwa air kencing manusia itu Najis juga. Kemudian Hadist lainnya lagi yang menyebutkan bahwa air liur anjing adalah Najis Besar dan air kencing manusia adalah Najis Kecil kecil. Pertanyaan dangkal penulis, kalau air kencing manusia juga Najis, mengapa Muslim tidak membenci diri mereka sendiri? Atau mungkin karena Najis Besar membutuhkan upaya yang lebih besar untuk membersihkannya daripada Najis Kecil? Kalau anggapan dangkal seperti ini dipertahankan, apakah Muslim selalu mengambil upaya-2 yang lebih mudah untuk “menyembah” (mentaati) Allah (Subhanahu Wa Ta’ala)? Lalu apa yang membedakan Najis Besar dan Najis Kecil? Inipun belum ada penjelasannya. Ya, hingga saat ini.

Ketika Musa (Alaihissalaam) mengklaim dirinya sebagai manusia yang paling “pintar” dan paling “benar” di depan kaumnya, Allah (Subhanahu Wa Ta’ala) mengatakan kepadanya bahwa ada manusia yang lebih pintar dari Musa (Alaihissalaam), yakni, Khidr (al-Qur’an Surah al-Kahf). Allah (Subhanahu Wa Ta’ala) menyuruh Musa (Alaihissalaam) untuk mencari Khidr di tempat dimana dua lautan bertemu, atau Majma’ul Bahrain. Penulis tidak menganggap Dua Lautan yang bertemu berarti literer, seperti contohnya lokasi dimana Laut Merah bertemu Laut Mediterranea. Melainkan bahwa “Majma’ul Bahrain berarti simbolis, yakni, metodology pembelajaran al-Qur’an dimana ilmu internal spriritual dari al-Qur’an bertemu dengan ilmu eksternal atau sains, dimana keduanya menyatu dengan harmonis dan menjelaskan ayat-2 al-Qur’an dengan terang dan jelas.

Ilmu pengetahuan yang dimaksud untuk menjelaskan perihal ini adalah; ilmu kesehatan, ilmu mikrobiologi, ilmu virologi, dan ilmu epidemiologi (ilmu mengenai wabah penyakit atau pandemi).

Najis, Najassah, adalah cairan yang mengandung mikroba pathogen (virus dan bakteri) yang dapat menyebarkan penyakit ke manusia. Najis di dalam ungkapan Bahasa Arab, “tidak murni” berarti cairan itu bukan cairan murni, namun cairan yang mengandung mikroba pathogen yang berbahaya dan di dalam Bahasa Inggris disebut biological hazard yang sering disingkat penulisannya menjadi biohazard;

Tanda Bahaya Biologis atau Biohazard

Dengan demikian bisa dijelaskan bahwa Najis Besar adalah cairan yang mengandung mikroba pathogen yang dapat menyebarkan penyakit “menular” ke populasi manusia atau menyebabkan wabah penyakit atau pandemi di populasi manusia. Bahwa Rasulullah (Shalallahu Alaihissalaam) memerintahkan membunuh anjing-2 yang berpenyakit supaya penyakit itu tidak menular ke populasi manusia. Kita bisa menduga bahwa saat itu terjadi wabah anjing rabies di Yathrib. Demikian juga dengan melarang jangan memakan hewan buruan yang diburu oleh anjing pemburu dimana anjing-anjing lain yang tidak jelas riwayat kesehatannya ikut memburu hewan buruan tersebut. Juga mengapa diperintahkan untuk membersihkan peralatan yang terpapar air liur anjing, karena pada saat itu sedang merebak wabah rabies.

Di Hadist Najis Besar di anjing, Rasulullah, SAW, hanya memberikan contoh, yakni di anjing. Jadi banyak Najis Besar di hewan dan juga manusia. Saya bisa sebutkan; Flu Burung, Flu Babi, Flu Unta, Anthrax Sapi, HIV, Lepra, Cacar, Covid, dll. Dan tentu saja hewan yang sehat, tidak mempunyai Najis Besar. Rasulullah (Shalallahu Alaihissalaam) memerintahkan untuk memelihara anjing-anjing pemburu yang sehat.

Oleh karena itu, orang yang terpapar Najis Besar dan Najis Kecil, harus membersihkan najisnya, sebelum dia membersihkannya, maka dia tidak boleh bersentuhan dengan manusia lain. Dan inilah mengapa membatalkan Shalat, karena dia akan mentransmisikan mikroba itu di dalam Shalat berjamaah di dalam Masjid. Inipun menjelaskan mengapa kencing di area sekitar Masjid tidak diperbolehkan.

Bisa dibayangkan sulitnya menjelaskan hal ini di zaman sebelum mikroskop ditemukan. Ya, benar sekali, Rasulullah (Shalallahu Alaihissalaam) adalah seorang ahli kesehatan masyarakat, mikrobiologi, virologi, dan epidemologi. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Rasulullah (Shalallahu Alaihissalaam) mengenai wabah atau pandemi yang terjadi di populasi manusia;


عَنْ سَعْد عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا

5728 صحيح البخاري كتاب الطب باب ما يذكر في الطاعون

2218 صحيح مسلم كتاب السلام باب الطاعون والطيرة والكهانة ونحوها

Sa’ad melaporkan, Rasulullah (Shalallahu Alaihissalaam) berkata; Jika kamu mendengar ada wabah di suatu wilayah, jangan masuk ke wilayah itu. Jika kamu berada di dalam wabah, jangan keluar dari wabah itu.

(Shahih Bukhari 5728, 2218)

Ini adalah pencegahan penyebaran pandemi dimana disarankan untuk menghindari wabah dan jangan ikut menyebarluaskannya.

Di dalam gambaran besar ini juga bisa dijelaskan bahwa Wudlu atau mensucikan diri (dari mikroba pathogen) adalah disinfeksi tubuh, dan Wudlu yang benar hanyalah menghabiskan kurang lebih semangkuk air atau 300ml. Ini hanya bisa dilakukan jika itu dilakukan dengan cara menyeka bagian-2 tubuh di dalam Wudlu dengan air, dan bukan mengguyurkan air sehingga menghabiskan banyak air. Karena dengan cara menyeka dengan air sedikit, dan berulang-ulang (3 kali) inilah yang bisa membunuh mikroba yang tak terlihat.

Rasulullah (Shalallahu Alaihissalaam) melihat Sa’ad ketika dia berwudlu, dan berkata, “Mengapa kamu menghambur-hamburkan air?” Sa’ad menjawab, “Apakah tidak boleh menggunakan banyak air ketika berwudlu?” Dijawab, “Ya, bahkan jika airnya mengalir (sumber air yang banyak)!”

(Imam Ahmad 6768, Ibnu Majah 419)

Juga ada Hadist yang menyatakan bahwa doa dan Shalatnya seseorang tidak akan diterima jika Wudlunya tidak benar.

Rasulullah (Shalallahu Alaihissalaam) berkata, “Kebersihan (kesehatan) adalah sebagian dari Iman!” Allah (Shubhanahu Wa Ta’ala) tidak menyukai orang-orang yang tidak mensucikan diri mereka, karena jika mereka lalai terhadap diri mereka sendiri, untuk kepentingan mereka sendiri, apalagi untuk orang lain dan masyarakatnya? Dan memang untuk menjadi Mukmin seseorang memerlukan upaya-2 yang lebih banyak.

Anjing Di Dalam al-Qur’an

يَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَآ اُحِلَّ لَهُمْۗ قُلْ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ تُعَلِّمُوْنَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللّٰهُ فَكُلُوْا مِمَّآ اَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

Mereka bertanya kepadamu, [hai Muhammad], apa yang dihalalkan bagi mereka. Katakanlah, “Dihalalkan bagimu [semua] makanan yang baik dan [hewan buruan] yang ditangkap anjing pemburu dan elang pemburu yang kamu latih seperti yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang mereka tangkap untukmu, dan sebut nama Allah di atas itu, dan bertakwalah kepada Allah.” Sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungannya.

(al-Qur’an 5:4)

وَتَحْسَبُهُمْ اَيْقَاظًا وَّهُمْ رُقُوْدٌ ۖوَّنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖوَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيْدِۗ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَّلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا

Dan engkau mengira mereka itu tidak tidur, padahal mereka tidur; dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di depan pintu gua. 

(al-Qur’an 18:18)

Di al-Qur’an Surah 18, ayat 18, pemuda-pemuda suci yang bersembunyi di gua, Ashabul Kahfi, dijelaskan sebagai contoh orang-orang yang beriman, selalu bersama dengan anjing yang menjaga mereka. Kemudian di Surah yang sama ayat 22. Allah (Subhanahu Wa Ta’ala) tidak menghitung jumlah mereka, tanpa memasukkan anjing mereka di dalam jumlah mereka, atau menjadi bagian dari mereka. Berapapun jumlah mereka yang disebutkan.

Allah (Subhanahu Wa Ta’ala) telah menciptakan anjing sebagai sahabat, pembantu manusia di berbagai bidang; sebagai pembantu, sebagai penjaga harta benda dan anggota keluarga, pengawasan, penunjuk dalam berburu, kurir, identifikasi ancaman dan pemberi peringatan, pemberantasan hama, penyelamat, dan banyak lagi. Ini adalah hal-hal yang dibutuhkan masyarakat manusia. Mereka dilengkapi dengan banyak sensor dan indera internal, yang tidak dimiliki manusia.

*Angkoso Nugroho

Print Friendly, PDF & Email

Recommended Posts