Perang Israel adalah Perang yang Sudah Tua

Thomas Carlyle menulis dalam surat pertamanya kepada Emerson, “Saya tengah sibuk mempelajari dengan segenap upaya untuk menulis buku tentang Revolusi Prancis. Ini adalah bagian dari keyakinan saya bahwa satu-satunya Karya Sastra adalah Sejarah, mampukah kita mengisahkannya dengan benar.” Sebelumnya, dalam sebuah surat (1833), Carlyle menulis bahwa “Sejarah yang benar” tentang Revolusi Prancis adalah “sastra agung di Zaman kita…[Orang] yang dapat menulis kebenaran tentang hal itu, tentunya lebih hebat dari semua penulis dan seniman lainnya.”

Penting untuk dicatat bahwa sejarah itu diceritakan. Sebuah kisah dapat diceritakan dan dicatat, namun hanya penceritaan kisah tersebut yang menjadi sebuah karya sastra. Carlyle menulis bukunya Revolusi Prancis sebagai “sastra agung” pada masanya. Takdir selalu melekat dalam sejarah. Penceritaan yang benar dari sebuah kisah bukan hanya sekedar rekaman catatan belaka, tetapi juga menjelaskan Takdir.

Kisah perang Israel melawan Hamas saat ini sangatlah menjijikkan dan dangkal. Kita mendengar narasi yang sama; berulang-ulang dan berputar-putar, dari kedua belah pihak, baik Israel maupun Palestina. Perang Israel melawan teror, perjuangan bersenjata Palestina untuk kemerdekaan. Benar-benar menjadi hal yang biasa dari semua sudut pandang: politik, geopolitik yang telah menjadi mode, ekonomi, militer, dan filosofis. Konflik ini telah bertahan sebagai masalah selama lebih dari satu abad tanpa solusi. Belum ada yang mencoba untuk menceritakan kisah Tanah Suci, dan menceritakannya dengan benar, kecuali satu orang, Syekh Imran Hosein. Bahkan, tidak ada yang peduli lagi untuk menceritakan kisah Tanah Suci secara benar. Laporan, narasi, penuturan, dan analisis hanya gagal menceritakan kisah tanah yang diberkahi ini dengan benar. Kegagalan itulah yang membuat masalah dan solusinya tidak dapat diidentifikasi.

Syekh Imran Hosein berhasil menceritakan kisah Tanah Suci karena ia menggunakan Al-Qur’an untuk menjelaskannya. Al-Qur’an menegaskan bahwa ia dapat menjelaskan segala sesuatu, dan menekankan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk orang-orang yang berpikir. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat mempelajari Al-Qur’an dan mencari penjelasan tentang apa pun tanpa berpikir. Syekh Imran Hosein menulis “sastra agung” di zaman kita ketika ia menerbitkan bukunya, Jerusalem dalam Al-Qur’an, lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Ketika membaca buku tersebut, kita akan menyadari bahwa beliau telah menghabiskan waktu yang lama untuk memikirkan kisah Tanah Suci yang diwahyukan dalam Al-Qur’an sehingga beliau dapat menceritakannya dengan benar. Baik orang-orang Palestina maupun para cendekiawan Islam dalam seratus tahun terakhir ini tidak ada yang pernah mempelajari Al-Qur’an untuk memahami dan menceritakan kisah tersebut, dan menceritakannya dengan benar. Jerusalem dalam Al-Qur’an telah teruji oleh waktu.

Beberapa orang mencemooh Syekh Imran Hosein sebagai pendongeng yang handal dan tidak lebih dari itu, tetapi sedikit yang mereka ketahui bahwa mereka secara tidak sengaja, karena kemampuan mereka yang buruk dalam berbahasa Inggris, secara ironis menggunakan istilah bahasa Inggris yang justru berlawanan dengan pandangan mereka sendiri mengenai beliau, untuk menggambarkan kisahnya yang sebenarnya mengenai tanah yang diberkati dan kejadian-kejadian yang dicatat dalam Kitab Suci. Dua dekade kemudian, suara mereka telah hilang ditelan bumi.

Perang Israel saat ini bukanlah perang baru. Perang ini adalah perang yang sudah lama dan menjadi lumrah. Israel telah gagal total dalam mempertahankan kedaulatannya dan berusaha keras untuk membuktikannya, sementara Palestina telah gagal total dalam mempertahankan perjuangan mereka untuk merdeka dan berusaha keras untuk membuktikan hak mereka dalam menentukan nasib sendiri. Ini adalah sebuah kisah bukan sekedar cerita dari dua kota, sebuah kisah tentang dua negara yang gagal. Solusi dua negara adalah sebuah kegagalan, dan tatanan dunia liberal Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebuah kegagalan, sementara itu, sejak tahun 1993, kedua negara tersebut hidup berdampingan sebagai sebuah eksperimen politik. Klimaks dari kisah ini tercapai pada tahun 2006 dengan kemenangan Hamas dalam pemilu demokratis yang didorong, didukung dan dipimpin oleh Amerika Serikat dan The Carter Center. Jimmy Carter sendiri menggambarkannya sebagai “proses pemilu yang tertib dan damai… jujur, adil dan aman.” Kisah ini terus berlarut-larut dalam klimaksnya yang sangat tidak menarik ketika status politik Palestina ditingkatkan menjadi Negara Pengamat Non-Anggota di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan November 2012. Setelah itu, kisah ini jatuh ke titik nadir. Kini, perang telah menghancurkan naskah tersebut dan menghempaskan kisah terkutuk ini-dari dua negara yang gagal-ke luar jendela.

Mereka yang telah dididik dan dilatih dalam kisah yang menyedihkan ini adalah mereka yang kini melacak asal-usul kisah ini ke masa lalu, ke masa-masa silam, sampai ke Deklarasi Balfour, atau mungkin ada satu atau dua orang yang cerdas yang dapat melacak akar-akarnya lebih dalam lagi sampai ke Perang Salib Pertama, tetapi meski mereka semua melacak ke belakang, entah untuk atau melawan Israel, atau, untuk atau melawan Palestina. Mereka kini telah menjadi rekaman yang rusak, yang mengulang-ulang nada yang sama.

Mereka yang telah membaca Jerusalem dalam Al-Qur’an pasti telah membaca asal-usul, perkembangan, dan takdir dari kisah tersebut. Mereka tidak hanya dapat menceritakan kisah tersebut, tetapi juga dapat menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Tanah Suci. Mereka seharusnya tahu, karena mempelajari Kitab Suci, apa yang sedang terjadi sekarang dan ke mana semua itu akan berkembang. Dengan adanya perang ini, Jerusalem dalam Al-Qur’an kini telah menjadi sebuah sastra agung di zaman kita. Mereka yang mempelajarinya, akan terdorong untuk kembali kepada Al-Qur’an dan tidak akan pernah melupakan Kitab Allah dalam upaya menafsirkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia saat ini, atau menggantikan Kitab Allah dengan politik, geopolitik, ekonomi, sejarah, dan filsafat.

Bagi mereka yang belum membaca buku tersebut, sekaranglah saatnya, bahkan sangat penting, untuk duduk, membacanya dan merenungkan kisah Tanah Suci dalam Al-Qur’an alih-alih bergabung dengan demonstrasi dan menonton pertengkaran para komentator di Internet dan televisi atas nama diskusi tentang kisah lama yang menyedihkan dan sangat memprihatinkan.

Wallahu ‘alam.

 

Penulis: Hasbullah Syafi

Editorial oleh Awaluddin Pappaseng Ribittara

 

Print Friendly, PDF & Email

Recommended Posts