Pemahaman dan praktik spiritualitas mungkin berbeda dari setiap sheikh atau ulama yang berbeda. Ajaran Maulana Imran Nazar Hosein telah mengarahkan kita, murid-muridnya atau mereka yang sedang belajar darinya dimanapun mereka berada, untuk mengutamakan membangun hubungan yang kuat dengan Al-Qur’an, melalui metodologi yang benar dalam pengajiannya (*baca Metodologi dalam Memahami Al-Qur’an), belajar dan bertindak berdasarkan maknanya, dan dengan demikian akan mampu memahami dunia modern dimana kita berada saat ini, dari dasar tersebutlah dengan secara akurat kita akan berusaha untuk merespon berbagai tantangan yang kita hadapi di dunia modern ini dengan baik dan benar.
Praktek-praktek spiritual yang berkaitan dengan ini adalah dengan membaca Surah Al-Kahf setiap Jumat dan secara teratur mempelajari dan memahami surah tersebut, membaca dan menyelesaikan seluruh bacaan Al-Qur’an dari awal sampai akhir minimal setiap bulan, membaca Salawat sebanyak-banyaknya (karena menurut beliau Sheikh Imran Hosein, bahwa salawat adalah bagian dari gerbang untuk membuka Nur dari Allah), melakukan Salat Tahajjud secara teratur sebanyak mungkin yang disesuaikan dengan kemampuan seseorang, dan mengingat Allah sebanyak mungkin dimanapun dan kapanpun di setiap waktu nafas kita berhembus.
Sheikh Imran Hosein juga telah mengajarkan tentang “zikir” seperti seorang lelaki tua mengingat istrinya yang sudah meninggal setelah menjalani kehidupan bersama yang penuh dengan kasih sayang selama beberapa dekade, bukan hanya sebagai pelafalan mekanik nama-nama Allah, Tasbih, dll, meskipun semua itu tentu saja penting bagi kita semua, namun semua hal tersebut harus berkembang seiring berjalannya waktu untuk mengingat cinta daripada hanya sekedar mempertahankan satu dalam tahap tilawah mekanik tersebut.
Diparafrasekan dengan kata-kata saya sendiri, Ibnu Ataa’illah al-Sikanderi rahimhullah mengatakan bahwa “menjadi pelupa dalam dzikir masih lebih baik daripada melupakan dzikir sepenuhnya.”
Setidaknya yang pertama, kemungkinan untuk berkembang menuju kesadaran dalam dzikir berada di tahap akhir, dimana setiap pintu kemungkinan dari proses kesadaran dalam berzikir tertutup.
Meski praktek semacam itu penting dalam perjalanan spiritual seseorang, sebaiknya harus dipahami bahwa apa yang disampaikannya haruslah menjadi bukti dari keabsahannya. Hal ini haruslah memberikan sebuah Nur dalam diri dan oleh karena itu visi Al-Qur’an untuk memahami dunia modern secara akurat dan untuk merespon setiap pribadi seacara subjektif dan tepat.
Hal ini tentu saja adalah awal dari semua perjalanan spiritual kita.
Syeikh Abdal Ghaniy an-Nabulsi rahimahullah telah menulis dalam puisinya Kun ma’Allah (bersama Allah) dimana baris berikut yang menurut saya sangat penting bagi semua orang yang sedang melakukan perjalanan spiritual:
كن مع الله ترى الله معك
و اترك الكل و حاذر طمعك
لا تقل لم يفتح الله و لا
تطلب الفتح و حرر ورعك
Bersama Allah dan lihatlah Allah bersamamu.
Dan Tinggalkan segalanya (selain Dia) dan berhati-hatilah dengan apa yang Anda harapkan.
Jangan katakan, “Allah belum membuka (fath – untukku)”
Jangan mencari fath (فتح – gerbang spiritual / visi dll) dan bebaskan kesalehan Anda (dari ketergantungan seperti itu pada perluasan wilayah gerbang spiritual sehingga segalanya hanya bersandar pada Kehendak-Nya saja)
Semoga Allah memberkahi perjalanan spiritual kita dan memberi kita kedekatan dengan-Nya di dunia ini dan di akhirat nantinya.
Insya Allah…
Hasbullah Syafi’i