Fitrah dari Penciptaan Manusia

Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Al-Rum [30]: 30)

Ketika menafsirkan ayat di atas, Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “fitrah” adalah kesiapan mental untuk menerima kebaikan dan kebenaran universal dari agama yang esa.

Berdasarkan penafsiran di atas, sesungguhnya manusia ketika lahir diliputi oleh potensi kebaikan-kebaikan. Ia dalam keadaan baik dan berpihak pada kebaikan serta kesucian. Ia memiliki hati suci dan tidak mau untuk dikotori. Inilah sesungguhnya potensi dasar yang dimiliki oleh manusia. Oleh karenanya, jika ada tekanan terhadap hak-hak kemanusiaan maka sesungguhya ia memiliki potensi untuk melakukan perlawanan. Namun demikian, potensi kesucian yang dimiliki manusia seringkali terkikis oleh gangguan, dan rongrongan serta pengaruh terutama dari luar dirinya, dimana di dunia akhir zaman ini, kita semua sudah paham bagaimana fitnah Dajjal dan doktrin gaya hidup Ya’juj wa Ma’juj telah menyebar di seluruh jagad bumi.

Kondisi lingkungan keluarga dan masyarakat sosial lainnya yang juga telah terkikis sedemikian rupa oleh fitnah Dajjal, turut memberikan andil terhadap pengikisan potensi kefitrahan. Oleh karena itu, orang yang menyadari fitrah sesungguhnya adalah orang yang mampu membentengi diri dari gempuran fitnah dan inpirasi dari bisikan-bisikan yang bathil.

Sebagai khalifah, manusia adalah makhluk yang diberi kepercayaan oleh Allah Swt. untuk memakmurkan bumi dan alam semesta ini. Relasinya adalah manusia dengan sesama manusia dan dengan alam di sekitarnya. Firman Allah menyatakan:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS al-Baqarah [2]: 30)

Sebagaimana makna asal katanya, khalifah di sini dipahami sebagai wakil Tuhan untuk mengurus, mengelola, mengayomi, memakmurkan, dan memanfaatkan segala isi yang ada di muka bumi yang menebarkan kebaikan dan kebenaran universal. Di samping itu, fungsi kekhalifahan ini juga menegaskan secara meyakinkan akan terbentuknya tatanan pranata sosial yang adil, sejahtera, setara, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Antara satu dengan yang lainnya memiliki relasi yang sama dan sejajar. Di antara mereka tidaklah dianggap sebagai subordinasi. Oleh karena itu, secara historis-sosiologis kehidupan keduniaan harus didasarkan atas kevalidan secara rasional.

Jika diwujudkan dalam bentuk gambar maka tugas kekhalifahan ini akan membentuk garis horizontal. Dalam Islam, tuntutan kehambaan harus dapat diwujudkan secara seimbang dengan tuntutan kekhalifahan. Tidak dianggap sebagai orang yang baik (insan kamil) jika ia hanya mampu menjalankan fungsi-fungsi kehambaannya, sementara fungsi sosial-kemanusiaan terbengkalai. Demikian juga sebaliknya, bukanlah orang yang baik jika ia hanya mementingkan tugas-tugas kekhalifahan sementara tugas kehambaannya tidak diaktualisasikan. Dengan demikian, fitrah manusia adalah menjalankan tugas-tugasnya dengan sukses baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi secara seimbang.

Sesungguhnya banyak cara untuk dapat memperkuat dan memperteguh potensi kefitrahan itu, di antaranya adalah menghilangkan atau meminimalisasi nafsu-nafsu kemanusiaan dan meneladani sifat-sifat ketuhanan. Jika Tuhan Maha Pengampun terhadap semua hamba-hamba-Nya maka kitapun sedikit demi sedikit memberikan keikhlasan dalam memberikan ampunan kepada orang-orang yang telah menyakiti kita. Jika Tuhan Maha kasih dan sayang terhadap hamba-Nya maka kitapun belajar mengasihi dan menyayangi orang-orang di sekitar kita.

Wallahu ‘alam

Oleh Drs.H.Fajarin, M.Pd

Editorial Awaluddin Pappaseng Ribittara

Print Friendly, PDF & Email

Recommended Posts