Memahami Korelasi dari Berbagai Tingkatan Pemikiran dan Ayat Muthashabihat

Menurut saya, Pemikiran Konseptual dalam eskatologi beroperasi pada tingkat abstraksi yang tinggi, di mana kita berurusan dengan tema-tema yang luas, simbol-simbol, dan ide-ide spiritual atau metafisik. Ini adalah tentang memahami prinsip-prinsip dan makna serta interpretasi dari ajaran-ajaran kenabian atau agama, yang sering kali berurusan dengan pola-pola jangka panjang, kebenaran transenden, atau interpretasi alegoris. Pada tingkat ini, kita terlibat dengan kerangka kerja spiritual atau filosofis yang menyeluruh. Di sisi lain, Pemikiran Situasional berfokus pada situasi dunia nyata, seperti geopolitik atau strategi militer, yang dibentuk oleh faktor-faktor yang langsung dan nyata, contohnya adalah apa yang sedang terjadi di dalam dan di sekitar Yerusalem saat ini. Jenis pemikiran ini berhubungan dengan fakta-fakta di lapangan – peristiwa-peristiwa spesifik, dinamika politik, dan data yang dapat ditindaklanjuti. Pemikiran ini bersifat konkret dan berfokus pada bagaimana segala sesuatunya berjalan pada waktu dan tempat tertentu, sering kali didorong oleh realitas praktis, pengambilan keputusan, dan proses berjalannya kehidupan manusia.

Permasalahan muncul ketika seseorang mencoba untuk secara langsung menerapkan ide-ide konseptual atau eskatologis pada peristiwa-peristiwa geopolitik tertentu. Meskipun konsep-konsep eskatologis dapat menginformasikan pandangan dunia yang lebih luas atau memandu pemahaman seseorang tentang pola-pola tertentu, konsep-konsep tersebut tidak dirancang untuk menjadi cetak biru harfiah untuk menafsirkan setiap peristiwa politik atau militer yang terjadi secara langsung. Melakukan hal itu, terutama bagi orang awam dan mereka yang tidak terlatih dalam metodologi yang benar, lebih sering mengarah pada penyederhanaan yang berlebihan atau salah tafsir, karena urusan dunia nyata dipengaruhi oleh banyak faktor praktis dan situasional yang melampaui wawasan yang murni abstrak atau metafisik.


Maulana Imran Nazar Hosein, semoga Allah Subhanahu wa’ta’alaa senantiasa menguatkan beliau, mengarahkan kita pada perbedaan penting antara metodologi penafsiran Al-Qur’an sekali lagi. Terutama dalam konteks ayat-ayat Muthashabihat, dan menggarisbawahi perbedaan epistemologis yang mendasar antara orang-orang yang mampu berpikir dan mereka yang memiliki kapasitas yang kurang memadai untuk melakukannya. Salah satu pendekatan yang dominan memperlakukan pengetahuan sebagai suatu entitas yang statis dan tidak dapat diubah-pada dasarnya adalah sistem tertutup dari doktrin-doktrin lama yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa adanya keterlibatan yang substansial atau analisis yang kritis. Metodologi ini, yang disebut-sebut oleh apa yang hanya bisa saya gambarkan sebagai semacam neo-salafisme yang mengonseptualisasikan pengetahuan sebagai sesuatu yang dapat “dikemas” dan ditransmisikan seperti halnya sebuah benda, menghambat inovasi interpretatif atau perluasan batas-batas intelektual, dan pada gilirannya menghambat mereka yang terinfeksi dengan kemerosotan intelektual dengan kesesatan. Hal ini menumbuhkan suatu bentuk kelembaman ilmiah, di mana peran pelajar direduksi menjadi sekadar penjaga pengetahuan yang diwariskan, dalam pandangan saya, hal ini menghalangi kemungkinan untuk memperluas batas-batas intelektual pemahaman keagamaan. Pendekatan semacam ini tidak hanya membatasi potensi penafsiran Al-Qur’an, tetapi juga mereduksi sifat dinamisnya menjadi seperangkat pemahaman yang tetap dan harfiah.

Kendala ini sangat menghalangi kemampuan kita sebagai penuntut ilmu untuk mengambil manfaat dari sifat kemukjizatan (i’jaz) Al-Qur’an yang inheren, khususnya sebagai mekanisme bimbingan di berbagai konteks dan waktu. Dengan membatasi teks dalam kerangka kerja yang kaku, metodologi ini melemahkan kapasitas Al-Qur’an yang inheren untuk menanggapi keadaan dan tantangan manusia yang terus berkembang, sehingga mengurangi perannya sebagai sumber bimbingan ilahi yang dinamis dan mudah beradaptasi. Keterbatasan ini menjadi semakin jelas di Akhir Zaman, yang mewakili era yang paling kritis dan menuntut bagi para pelajar yang menuntut ilmu, yang membutuhkan keterlibatan yang lebih dalam dan lebih bernuansa dengan teks suci.

Sebaliknya, saya mendengar Maulana Imran Hosein mengatakan bahwa Pendekatan Hermeneutika yang lebih dinamis mengakui kompleksitas yang berlapis-lapis dan kedalaman simbolis dari ayat-ayat Muthashabiath, yang sangat banyak dan berlimpah, menyiratkan keluasan dan kedalamannya yang seperti lautan luas, terutama di bidang-bidang seperti eskatologi, yang sarat akan makna-makna alegoris dan transenden. Metodologi ini menganjurkan proses penafsiran yang aktif dan berkelanjutan, di mana para sarjana terlibat secara mendalam dengan teks, mengakui adanya kekeliruan dalam penafsiran mereka dan pentingnya kerendahan hati intelektual.

Sebagai catatan tambahan, saya percaya bahwa hal ini berfungsi sebagai sebuah ujian lakmus yang dapat kita gunakan sebagai orang awam dalam mencari pembimbing spiritual yang otentik. Kehadiran ego sering kali menjadi penghalang bagi kebijaksanaan sejati, mengaburkan penilaian dan menghalangi kerendahan hati yang diperlukan untuk pemahaman yang lebih dalam, terutama melalui pengakuan akan kesalahan dan pengakuan akan keterbatasan kita. Kita hanya perlu melihat bagaimana Musa ‘alayhi as-salaam, terlepas dari statusnya, mendatangi Al-Khidr ‘alayhi as-salaam dengan penuh rasa hormat dan kesadaran akan kebutuhannya untuk pemahaman keilmuan lebih lanjut yang telah direkam dalam Surat Al-Kahfi, ayat 66.

Alih-alih memposisikan pengetahuan sebagai ‘pusaka kebijaksanaan’, pendekatan ini memandangnya sebagai keterlibatan yang terus berkembang dengan wahyu ilahi, yang membutuhkan refleksi dan evaluasi berkelanjutan dengan mempertimbangkan konteks dan wawasan baru yang terurai sebagai fungsi dari waktu, ruang, dan realitas lainnya. Dalam pandangan ini, Al-Quran bukan hanya sebuah gudang makna yang telah ditetapkan sebelumnya, melainkan sebuah teks yang hidup dan dinamis yang mengundang penafsiran yang ketat, kritis, dan terus berkembang.

Pendekatan ini tidak hanya selaras dengan anjuran Al-Quran untuk melakukan refleksi intelektual (tafakkur), tetapi juga menjaga integritas realitas dengan ayat-ayat Muthashabiah dengan menolak penyederhanaan dan literalisme yang berlebihan, gejala-gejala yang menunjukkan adanya penyakit intelektual yang diperlihatkan oleh apa yang hanya bisa saya ungkapkan sebagai ‘kesarjanaan yang dipopulerkan dan dilembagakan‘.

Wallahu ‘alam

Oleh Sayf K

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Awaluddin Papapseng Ribittara

Recommended Posts