Saya menulis booklet ini akibat dari menikahi istri kedua berkebangsaan Arab Aljazair pada hari terakhir bulan Dzul Hijjah 1435 di kota Iran, Mashad. Pernikahan ini berlangsung di Masjid Imam Rida (‘alaihi al-Salām) yang merupakan seorang keturunan ke-8 generasi Nabi Muhammad (sallalahu ‘alaihi wa sallam).
Dari sejak malam pertama pernikahan, dan selama 12 hari bahagia berikutnya yang kami jalani bersama di Iran, saya mencurahkan waktu untuk mengajarkan Surat Al-Kahf kepada istri baru saya. Saya mendapati hal-hal aneh dan ajaib terjadi kepada saya saat saya mengajarinya Surat tersebut, karena saya mengalami – lagi dan lagi – pencerahan baru di Surat itu yang belum pernah saya pahami sebelumnya.
Kami berdua merasa ini adalah sebuah tanda keberkahan dari Tuhan, dan kami berdua bersyukur kepada Allah Yang Maha Pengasih atas berkah-Nya kepada kami. Ini adalah bagian dari hadiah untuk istri baru saya, dan sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala, sehingga buku ini ditulis.
Biarkan saya memulai membuka kepada para pembaca yang terhormat bahwa saya baru berusia 18 tahun saat saya menemui Khidr duduk di atas batu. Maulānā Dr. Muhammad Fadlur Rahmān Ansāri (rahimahullah), yang adalah seorang Sufi shaikh Qāderiah, dan guru saya dengan ingatan yang diberkahi pada akhirnya menjadi Khidr saya, dan saya tidak pernah lagi sejak umur 18 tahun ‘melihat kembali’ dalam hidup untuk mencari arah atau tujuan hidup baru. Sebenarnya saya sangat beruntung karena dia mengajarkan dan membimbing saya seakan barangkali, tidak ada lagi ulama Islam yang hidup punya metodologi mempelajari Al-Qur’an, serta mengidentifikasi hadits buatan.
Ada orang-orang yang akan membaca esai ini dan menangisi kenyataan karena bertahun-tahun hidupnya telah berlalu, sementara mereka masih mencari Khidr. Esai ini ditulis untuk menawarkan harapan kepada orang-orang tersebut, dan untuk menguatkan tekad mereka agar tidak berhenti mencari. Sūrah al-Kahf mengingatkan mereka mengenai pernyataan Mūsa (‘alaihi al-Salāam) tentang pertemuan dua lautan – bahkan jika dia harus melanjutkan perjalannya tanpa akhir:
وَإِذْ قَالَ مُوْسَى لِفَتَاهُ لاَ أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua lautan; atau aku akan terus berjalan entah sampai berapa tahun lamanya.” (Al-Qur’an Surat Al-Kahf, 18:60).
Biarkan saya juga menjelaskan kepada para pembaca tersebut, juga kepada yang lain, bahwa saya bukan Khidr zaman ini, dan saya tidak mengaku diri saya sebagai siapa pun. Apa yang saya lakukan, bagaimana pun, adalah menjelaskan profil guru hebat yang menjadi model satu-satunya ulama yang bisa menanggapi tantangan zaman modern dengan berhasil, dan untuk mendorong orang-orang yang mencari Khidr agar menemukannya dengan mencari jejak-jejak yang mirip dengan jejaknya.
Saya berdoa semoga booklet ini bisa membantu mereka dalam pencarian itu. Amin!
Imran N. Hosein
Di Pulau Karibia, Trinidad
Jumadil al-Awwal 1436/April 2015