Tentang Sanad (Silsilah) bagi Syekh Maulana Imran Nazar Hosein

Artikel pendek ini adalah penjelasan ringkas akan klarifikasi dari banyaknya misinformasi yang beredar tentang sanad (silsilah) Maulana Imran Nazar Hosein. Jadi ketika ada yang menanyakan tentang silsilah beliau, jawabannya berada di bawah ini. Tidak lebih, tidak kurang. Dan itu yang ditegaskan oleh Maulana Imran Nazar Hosein. Jangan melebih-lebihkan karena Beliau sendiri tidak akan pernah mengklaim lebih dari itu.

Maulana Imran Nazar Hosein bukanlah seorang Syekh Sufi seperti yang mereka (mayoritas muslim) pahami sebagai Syekh Sufi yang memiliki sanad (silsilah).

Dalam pemahaman umum tentang seorang Syaikh Sufi menurut kepercayaan dan praktik di kalangan Sufi modern, seorang Syaikh Sufi harus memiliki otoritas. Mereka menyebutnya idhn, yaitu otoritas untuk mengajar dan meneruskan pengetahuan serta melatih murid-murid yang datang kepadanya dalam perjalanan spiritual. Idhn ini ibarat sebuah kotak yang diwariskan dari Syaikh ke Syaikh. Syekh Sufi memberinya otoritas untuk mengajar dan melatih, yang telah menerima hal yang sama dari gurunya dan begitupun gurunya juga dari gurunya sendiri dan seterusnya hingga garis (sanad/silsilah) sampai kepada Nabi Muhammad shallallahu alayhi wa sallam.

Hanya setelah verifikasi silsilah atau sanad seperti itu, para sufi (orang-orang yang mempraktikkan tasawuf dalam konteks modern sebagai bagian dari tarekat) menerima seorang Syaikh Sufi sebagai seorang yang otentik. Segala sesuatu yang lain tentangnya adalah hal yang bersifat sekunder menurut mereka, meskipun ia menyampaikan dan mengajarkan kebenaran.

Namun, Maulana menolak metodologi ini. Ini adalah kesalahan mendasar dalam epistemologi. Pengetahuan bersumber langsung dari Allah seperti yang kita lihat dalam model Khidir ‘alayhis salam. Ia tidak dapat diwariskan dari Syekh ke Syekh. Dalam Surah Al Kahf tentang kisah pembelajaran Nabi Musa ‘alayhis salam kepada Nabi Khidr ‘alayhis salam di Majmaul Bahrain, tidak ada satupun manusia di bumi ini yang memiliki pengetahuan tentang siapa Nabi Khidr ‘alaihis salam, darimana dan dimana asalnya, dimana dia berguru, sanad dan silsilahnya dari mana. Namun Nabi Musa ‘alayhis salam ditugaskan oleh Allah untuk belajar kepada Nabi Khidr ‘alayhis salam, Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam sendiri berkata “seandainya Musa ‘alayhis salam bisa bersabar, mungkin kita bisa banyak belajar dari Khidr ‘alayhis salam.”

Seorang guru dapat mendorong muridnya untuk mengajar, tetapi ia tidak dapat memberikan otoritas untuk mengajar. Seorang guru tidak bisa menjamin atau bertanggung jawab atas apa yang diajarkan oleh muridnya. Dan sang murid, ketika ia menjadi seorang guru, hanya bertanggung jawab sendiri atas apa yang ia ajarkan. Sebagaimana pengetahuan datang dari Allah secara langsung, demikian pula otoritas dan izin untuk mengajar datang dari Allah secara langsung. Yang dilakukan oleh seorang guru hanyalah mendukung dan memberitahukan kepada orang lain bahwa ia telah melatih muridnya dan yakin bahwa muridnya akan mengajarkan kebenaran.

Sebuah ajaran dapat berubah sesuai dengan tuntutan dan tantangan dari setiap waktu dan periode. Menurut versi mereka, karena ajaran itu diturunkan seperti sebuah kotak, maka ajaran itu tidak dapat berubah. Ini adalah masalah mendasar dalam metodologi dan pemahaman epistemologi. Tradisi yang berlaku selama ini, sang guru hanya mengajarkan sebuah kotak dan sangat mengistimewakan kotak tersebut sehingga melarang murid-muridnya untuk membuka kotak tersebut atau keluar dari kotak tersebut. Kotak itulah yang terus turun temurun berlaku. Tidak mengikuti perubahan dan perkembangan zaman, alias monoton. Tidak boleh dan tidak akan ada kesempatan dalam perluasan cakrawala pengetahuan yang selaras dan harmonis dengan perkembangan zaman. Sehingga inilah yang terjadi saat ini. Mayoritas cendekiawan dan ulama muslim tidak lagi mampu menjadikan Al Qur’an sebagai dasar penjelasan atas segala hal yang terjadi di era peradaban barat modern saat ini.

Dan ketika Al Qur’an yang diklaim sebagai kitab sucinya umat Islam yang membuat fungsi dari Al Qur’an sebagai cahaya, pentunjuk, ilmu, wawasan, berbagai peringatan dan penjelasan akan segala hal yang dalam kehidupan seluruh manusia, dimana para pengikut Nabi terdahulu/aliran kepercayaan saat ini malah enggan memperlajarinya bahkan meninggalkan (mengabaikan) fungsi dan peranan Al Qur’an dalam kancah kehidupan peradaban manusia. Sehingga klaim tersebut pun membuat manusia terutama umat muslim menjadi saling berdebat satu sama lainnya yang menimbulkan kebencian dan permusuhan di kalangan umat islam sendiri.

Jadi kesimpulan dalam artikel pendek kali ini, bahwasanya Syeikh Maulana Imran Nazar Hosein sama sekali tidak menekankan dirinya pada status sanad atau silsilah keilmuan beliau. Namun dia hanya menekankan bahwa inspirasi keilmuan yang beliau peroleh berasal dari gurunya yaitu Maulana Fazlur Rahman al Anshari yang juga terinspirasi dari Dr. Maulana Iqbal dimana Dr. Maulana Iqbal melakukan pengembangan keilmuannya dari inspirasi yang beliau peroleh dari Maulana Jalaluddin Rumi. Dan pengetahuan yang diperoleh oleh ketiga tokoh tersebut semuanya bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah. Titik. Cukup sampai disitu saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Dan semoga prinsip yang beliau pegang teguh ini bisa diterima, dihargai dan dihormati bagi siapapun di kalangan umat muslim di peradaban barat modern saat ini. Insha Allah…

 

Oleh Awaluddin Pappaseng Ribittara

 

Recommended Posts