Al-Qur’an, Kriminalitas dan Filosofi Hukuman

Ini adalah yang kedua dari empat esai khusus Ramadan yang diterbitkan oleh Jama Masjid, San Fernando, dan ditulis oleh cendekiawan Islam Imran N. Hosein dan Siddiq A. Nasir, yang merujuk pada Al Qur’an yang penuh berkah sebagai upaya untuk menanggapi kriminalitas yang merajalela. Tulisan pertama berfokus pada topik ‘Kriminalitas dan Ekonomi’, dan dua tulisan berikutnya akan berfokus pada ‘Kriminalitas dan Masyarakat Sekuler’ dan ‘Kriminalitas dan Kehidupan Keluarga’.

Mereka yang memproklamirkan ‘Supremasi Tuhan’ dalam Konstitusi mereka (“Bahwa Rakyat Trinidad dan Tobago telah menegaskan bahwa Bangsa Trinidad dan Tobago didirikan di atas prinsip-prinsip yang mengakui supremasi Tuhan…”), dan kemudian melanjutkan untuk menentang-Nya dengan menolak Hukum-Nya dan dengan menggantikannya dengan hukum mereka sendiri yang bersebrangan sebagai ‘hukum tertinggi’, adalah orang-orang yang dengan sengaja melakukan syirik. Itulah yang dilakukan oleh Negara Karibia ini dalam Pasal. 2 dari Konstitusi mereka: “Konstitusi ini adalah hukum tertinggi di Trinidad dan Tobago, dan hukum lainnya (termasuk Hukum Tuhan) yang tidak selaras dan selama tidak kompatible dengan Konstitusi ini tidak dapat diberlakukan.”

Al-Qur’an telah menyatakan bahwa kemusyrikan adalah satu-satunya dosa yang tidak akan pernah diampuni oleh Allah, yaitu apabila seseorang telah wafat tanpa melakukan taubat. Seorang yang percaya kepada Allah yang tunduk pada otoritas dan hukum Negara sebagai yang tertinggi di atas hukum Allah, meninggalkan satu-satunya agama yang benar dan sebagai gantinya bergabung dengan kawanan ternak manusia yang mainstream dan tidak bertuhan dalam kelalaian mereka menuju akhir yang mengerikan.

Sungguh menakjubkan, bahwa peradaban sekuler Barat (yaitu, Judeo-Kristen) yang lahir di Eropa, dan yang kini diikuti oleh sebagian besar dunia secara membabi buta, telah membongkar semua hukum hukuman yang ditetapkan secara ilahi dan menggantinya dengan hukum sekuler yang bertentangan. Mungkinkah hal ini terjadi secara tidak sengaja, atau umat manusia sedang diuji? Homoseksualitas dapat dihukum dalam Hukum Allah, begitu juga dengan aborsi (kecuali jika nyawa ibu dalam bahaya), perselingkuhan dan perzinahan. Barat modern sekarang melegalkan pernikahan antara laki-laki setelah menghapus semua hukuman untuk homoseksualitas, aborsi, perselingkuhan dan perzinahan. Orang-orang fasik yang sekarang memerintah dunia (mereka memerintah dunia sampai Rusia akhirnya terprovokasi untuk melawan mereka) tidak hanya memaksakan hukum sekuler mereka untuk menggantikan hukum Allah, tetapi, di samping itu, mereka menggunakan kekuatan mereka untuk mencegah hukum tandingannya untuk dapat berfungsi.

 

Ayam-ayam sekuler pulang ke kandang untuk bertengger

Ada banyak orang di dunia sekuler modern yang telah dicuci otaknya oleh Barat yang tidak bertuhan, mengecam dan menolak sebagai ‘biadab’ dan ‘tidak beradab’, terhadap undang-undang hukum yang telah ditetapkan secara ilahi dalam ajaran-ajaran agama yang telah diwahyukan. Namun begitu banyak dari mereka yang menanggapi dengan sukacita secara diam-diam penyiksaan yang dilakukan oleh Judeo-Kristen Amerika terhadap orang-orang tak berdosa di Guantanamo, penjara Abu Gharib di Irak dan di tempat lain, dan tidak memiliki keraguan tentang penggunaan bom-bom uranium yang semakin terkuras terhadap warga sipil Irak dan Afghanistan yang tak berdosa dalam perang yang jelas-jelas tidak adil. Orang-orang seperti itu terlibat dalam moralitas selektif yang membenarkan tindakan kriminal yang biadab di pihak negara itu sendiri. Tidaklah mengherankan jika model masyarakat sekuler di seluruh dunia kini runtuh dalam pelukan berdarah dari kriminalitas yang terus meningkat. ‘Ayam-ayam sekuler’ benar-benar ‘pulang ke kandangnya’. ‘Apa yang baik untuk angsa juga baik untuk kancil’. Ini merupakan pembenaran yang tidak menguntungkan bagi ‘Kebenaran’, bagi model masyarakat yang suci, dan bagi kode hukuman ilahi yang telah ditetapkan pada zaman Daud, Sulaiman, dan Muhammad (damai sejahtera atas mereka semua).

 

Hukum Allah tentang Penghukuman – Tiga Kategori Kejahatan

Dalam kebijaksanaan-Nya, Allah telah menetapkan hukuman yang menghasilkan penurunan kriminalitas secara konstan, sedangkan masyarakat sekuler modern yang telah menolak hukum-hukum ilahi tentang penghukuman dan menggantinya dengan alternatif-alternatif sekuler, dilanda kriminalitas yang terus meningkat. Dalam menjelaskan filosofi hukuman dalam Al Qur’an, kami berusaha untuk mengarahkan kembali perhatian kepada model masyarakat yang sakral dan mengingatkan para pembaca akan dunia yang relatif bebas dari kriminalitas yang dapat mereka miliki jika umat manusia menerima wahyu Ilahi dan bimbingan kenabian serta mengikutinya.

Kami juga berusaha melalui esai-esai ini untuk memenuhi perintah Ilahi untuk menjadi syuhada ‘ala al-Naas (yakni, saksi-saksi Kebenaran bagi umat manusia) sehingga mereka yang dengan demikian disadarkan akan Hukum Ilahi tidak bisa mengaku tidak tahu akan Hukum tersebut pada Hari Penghakiman. Kebijaksanaan Ilahi telah mengakui berbagai kategori perilaku kriminal dan telah menetapkan hukuman yang sesuai untuk setiap kategori. Oleh karena itu, beberapa kejahatan dapat dihukum dengan hukuman ‘reformatif‘, yang lain membutuhkan hukuman ‘retributif‘, sementara yang lain lagi menuntut hukuman ‘jera (pencegahan)‘.

Hukuman yang bersifat reformatif

Sebuah contoh hukuman yang dimaksudkan untuk memperbaiki pelaku kejahatan adalah hukuman yang dijatuhkan atas konsumsi minuman keras seperti anggur (lihat buku penulis yang berjudul ‘Metode Qur’ani untuk Menyembuhkan Kecanduan Alkohol dan Narkoba’). Hukuman dijatuhkan pada tahap terakhir dari sebuah proses yang mensyaratkan, pertama, bahwa individu tersebut harus dididik sedemikian rupa sehingga ia secara sukarela menjauhkan diri dari alkohol atas dasar keyakinan rasional akan kejahatannya. Pada tahap kedua, yang diperuntukkan bagi mereka yang belum disembuhkan, sebuah upaya dilakukan untuk menembus inti spiritual dalam diri individu di mana terdapat segala sesuatu yang dianggapnya sebagai sesuatu yang suci. Kesadaran spiritual menjadi sasaran yang setara dengan sengatan listrik, dan hal itu akan berdampak pada tingkat keberhasilan yang signifikan. Hanya mereka yang tidak dapat direformasi baik melalui metode eksternal maupun internal yang akan dikenai hukuman reformatif. Hukuman cambuk di depan umum yang mereka alami saat ini tidak dimaksudkan untuk menimbulkan rasa sakit secara fisik. Sebaliknya, hal itu dimaksudkan untuk mempermalukan mereka sehingga rasa takut akan hukuman yang lebih besar biasanya menghasilkan kesembuhan.

Hukuman retributif

Ketika sebuah kejahatan mengakibatkan cedera seperti hilangnya ‘mata’ atau ‘nyawa’, maka hukum kesetaraan dan keadilan alamiah mengharuskan pengenaan hukuman retributif, yaitu ‘mata dibalas mata’, atau ‘nyawa dibalas nyawa’. Dengan demikian, korban kejahatan kekerasan akan merasa puas karena mengetahui bahwa luka yang sama yang dideritanya akan ditimpakan kepada si pelaku kejahatan. Tetapi hukum keadilan retributif dapat dilunakkan dengan kompensasi moneter yang dapat diterima oleh pihak yang dirugikan sebagai pengganti hukuman terhadap penjahat. Kompensasi tersebut biasanya di luar kemampuan pelaku kejahatan dan, sebagai konsekuensinya, biasanya keluarga, suku, dan komunitas tempat dia berasal yang membayar kompensasi tersebut. ‘Kompensasi’ sebagai pengganti hukuman, dengan demikian memberdayakan suku dan komunitas dengan kapasitas untuk mengendalikan tindak kejahatan.

Hukuman Jera

Namun, ketika suatu kejahatan memiliki potensi untuk menghancurkan kesejahteraan kolektif masyarakat, seperti tindakan terorisme (dan penculikan adalah tindakan terorisme), atau seperti pencurian dan penggelapan yang menghancurkan pasar yang bebas dan adil, maka kebijaksanaan ilahi telah menetapkan penerapan hukuman yang dapat membuat jera. Dasar pemikiran yang melandasi hukuman tersebut adalah pengakuan atas keharusan moral tertinggi untuk mencegah anarki dan ketidakadilan sambil menjaga tatanan sosial. Al-Qur’an telah memperingatkan mereka yang bertanggung jawab untuk menjaga tatanan sosial dan mencegah terorisme seperti penculikan: “Dan takutlah kamu akan kekacauan (anarki, penindasan), yang tidak hanya menimpa orang-orang jahat dalam masyarakat tetapi juga orang-orang yang tidak bersalah, dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras dalam menghukum (mereka yang gagal menjaga tatanan sosial seperti melindungi orang-orang yang tidak bersalah dari kejahatan seperti penculikan)” (Al-Qur’an, al-Anfal, 8:25).

Al-Qur’an telah menetapkan, sebagai contoh, bahwa tangan pencuri harus dipotong (Al-Qur’an, al-Maidah, 5:38-9). Jika undang-undang ini pernah diterapkan di negara ini, segera setelah tangan pertama dipotong bagi pelaku korupsi, itu akan mengakhiri semua tindak korupsi semacam itu.

Hukuman untuk tindakan terorisme seperti penculikan sangat berat dalam hal kemampuan untuk membuat jera yang jika diterapkan akan memiliki dampak positif langsung dalam mengakhiri tindakan penculikan di negara ini. Sejumlah besar masyarakat kita yang saat ini tinggal di luar negeri dan terlalu takut untuk kembali ke rumah akan menghela nafas lega jika hukum Tuhan diberi kesempatan untuk memulihkan keamanan dan kewarasan masyarakat kita. Teroris yang terbukti bersalah harus dihukum, sesuai dengan ketetapan Allah, baik dengan cara “dihukum mati, atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya dengan berlawanan arah, atau dibuang dari masyarakat”. (Al-Qur’an, al-Maidah, 5:36). Sejauh ini, ini merupakan hukuman yang paling berat dari semua hukuman yang ditetapkan oleh Allah. Gradasi dalam tingkat keparahan hukuman memberikan fleksibilitas bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman terberat bagi kejahatan yang paling buruk.

 

Apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kita harus menanggapinya?

Mereka yang masih berpegang teguh pada cara hidup religius meskipun mengalami dampak yang merugikan dari sistem pemerintahan negara sekuler dan masyarakat sekuler ini haruslah bersatu sebagai umat Hindu, Kristen, Muslim, dan yang lainnya untuk melepaskan diri dari kediktatoran negara sekuler. Mereka dapat melakukannya dengan membangun komunitas-komunitas mikro multi-agama mereka sendiri di pedesaan. Komunitas-komunitas iman semacam itu akan dibangun di atas nilai-nilai moral dan spiritual. Namun, untuk bertahan hidup, mereka harus membangun tembok yang tidak terlihat di sekeliling mereka untuk menjaga jarak dengan masyarakat mainstream yang tidak bertuhan. Hanya dalam komunitas yang terpencil seperti itulah Peradaban dapat dipulihkan, hukum-hukum Tuhan dapat ditegakkan, masyarakat dapat diberdayakan untuk memerangi kejahatan, dan dunia kemudian dapat menyaksikan terciptanya masyarakat yang relatif bebas dari kejahatan.

 

Imran N. Hosein @2008

Editorial dan Terjemahan oleh Awaluddin Pappaseng Ribittara

 

 

Print Friendly, PDF & Email

Recommended Posts