Hujan Terakhir dari Rasulullah Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallam

Nabi Muhammad (صلى الله عليه وسلم) pernah mengibaratkan umatnya seperti hujan, dan kemudian bernubuat:

“Umatku seperti hujan. Tidak bisa dipastikan hujan mana yang lebih baik, hujan pertama atau hujan terakhir.”

(Sunan Tirmidzi, Hadits: 2869)

Tentu saja, tidak semua orang akan mampu menjadi hujan suci yang terakhir. Tetapi kita semua pasti dapat berkontribusi terhadap hujan terakhir yang diberkahi tersebut, dalam berbagai bidang yang berbeda, dengan menggunakan keterampilan (skill), kemampuan, fungsi dan peranan yang telah Allah karuniakan kepada kita masing-masing.

Hujan pertama itu (adalah para sahabah) tidak semuanya ulama. Di antara mereka ada pedagang dan saudagar, petani dan peternak, pemburu, pengrajin dan ahli pedang, ahli militer, ahli politk, ilmuwan, administrator, guru dan mereka yang berada di bidang kesehatan. dan sebagainya.

Allah menciptakan kita semua untuk suatu tujuan, terlepas dari perbedaan ras, suku, bangsa, bahasa, sifat, karakter, kemampuan (keahlian/ skill) yang kita miliki.  Namun kita semua bisa melayani umat (masyarakat) baik dalam skala mikro maupun makro dengan cara kita sendiri yang tentunya berlandaskan pada kebenaran dan kebaikan universal yang telah kita temukan pemahamannya dari Al-Qur’an.

Setiap manusia telah memiliki fungsi dan peranannya masing-masing, tugas dan tanggung jawab serta amanahnya masing-masing dari Allah yang Maha Bijaksana. Adalah sebuah ujian dan tantangan serta tugas yang tiada akhir dari Allah kepada hamba-hamba-Nya untuk mengenal dan memahami dirinya masing-masing, agar ia tahu dimana posisinya berada, dimana fungsi dan peranannya terhadap umat dan terhadap alam semesta.

Fitnah Dajjal melalui peradaban barat modern yang ditengarai oleh Ya’juj wa Ma’juj sedemikian rupa telah berhasil melakukan transformasi terhadap fitrah manusia baik secara internal maupun eksternal. Pada umumnya manusia saat ini hidup dengan cara-cara atau dengan gaya hidup yang telah melenceng dari fitrahnya, dan bahkan lebih parahnya lagi telah merubah fitrahnya sama sekali. Malam menjadi siang, sebaliknya siang menjadi malam.

Manusia sedemikian rupa diciptakan oleh Allah dengan indahnya sebagai makhluk sosial, makhluk yang memiliki skill, keahlian, karakter, fungsi, dan peranannya masing-masing yang diperuntukkan untuk kepentingan seluruh umat manusia dan alam semesta dimanapun mereka berada. Namun sayangnya, Dajjal meski dengan perjuangan yang memakan waktu yang cukup lama, telah berhasil merubah makhluk sosial ini menjadi makhluk individualis yang hidup berbalut arogansi dan superioritas dirinya sebagai manusia, sebagai suku, sebagai bangsa, sebagai ahli, sebagai pemimpin, dan lain-lainya, memposisikan dirinya di tempat yang tertinggi dan memandang rendah makhluk lainnya sehingga tiada lagi empati, cinta dan kasih sayang terhadap sesamanya dan alam semesta dimana mereka berada. Dan untuk menambah garam ke luka, mereka tidak lagi peduli dan tidak mau tahu akan nilai-nilai dan hukum moral dari peradaban mereka, mereka hidup sebebas burung yang berterbangan di angkasa yang luas, mereka melakukan hubungan badan layaknya binatang dimanapun mereka berada tanpa memandang norma-norma kemanusiaannya, dan yang paling parahnya pengwajaran atau normalisasi dari hubungan sejenis (homoseksual dan lesbian) dimana tiada satupun binatang yang pernah melakukannya, sehingga tak bisa dipungkiri lagi bahwasanya manusia telah memposisikan dirinya lebih buruk dari binatang sedang mereka diberkahi akal untuk berpikir logis dan kritis dan hati untuk melihat dan merasakan serta membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tingkat terburuk dan yang paling bobrok dari tahapan transformasi manusia ini adalah menjadi makhluk transhumanis yang merubah kondisi manusia baik secara fisik maupun non fisik melalui pengembangan teknologi dan rekayasa genetika sehingga manusia bebas untuk memilih jenis kelamin yang mereka inginkan, kondisi atau citra tubuh yang inginkan, memperpanjang umur, memperbaiki suasana hati (mood), dan meningkatkan kemampuan fisik atau kognitif. Di tahapan akhir inilah manusia akan menjadi makhluk yang sama seperti Dajjal yang berupa Jasad tanpa Jiwa.

 

وَّلَاُضِلَّـنَّهُمۡ وَلَاُمَنِّيَنَّهُمۡ وَلَاٰمُرَنَّهُمۡ فَلَيُبَـتِّكُنَّ اٰذَانَ الۡاَنۡعَامِ وَلَاٰمُرَنَّهُمۡ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلۡقَ اللّٰهِ​ؕ وَمَنۡ يَّتَّخِذِ الشَّيۡطٰنَ وَلِيًّا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ فَقَدۡ خَسِرَ خُسۡرَانًا مُّبِيۡنًا ؕ‏

“…dan pasti akan kusesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan kusuruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak, (lalu mereka benar-benar memotongnya), dan akan aku suruh mereka mengubah ciptaan Allah, (lalu mereka benar-benar mengubahnya).” Barang siapa menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka sungguh, dia menderita kerugian yang nyata.

(Al Qur’an Surah An Nisa ayat 119)

 

Solusi yang paling efektif dalam menghadapi situasi ini tiada lain adalah dengan kembali ke diri kita masing-masing, mengetuk pintu hati kita untuk berusaha mengenal dan memahami diri kita saat ini. Di tahapan manakah posisi saya berada saat ini, apa skill (kemampuan) keahlian, tenaga, fungsi dan peranan saya yang bisa saya sumbangsihkan kepada umat dan alam semesta dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan universal di muka bumi ini?

Setiap hati manusia tahu dimana posisi mereka berada dalam tahapan ini. Umumnya mayoritas manusia saat ini masih berada di tahapan makhluk yang individualis, terlepas dari keyakinan mereka bahwa yang mereka lakukan saat ini adalah benar dan baik semata-mata hanya untuk dirinya dan keluarganya. Sedang fitrahnya, manusia adalah makhluk sosial dimana segala keahlian, kemampuan, tenaga, fungsi dan peranannya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan seluruh umat manusia dan alam semesta di sekitarnya, yang dimulai dari lingkup terkecilnya terlebih dahulu. Jadi kepentingan umat adalah visinya dan pengembangan diri dan keluarganya (skill, keahlian, tenaga, fungsi dan peranannya) adalah misi masing-masing dari setiap manusia.

Persatuan umat (komunitas) baik agama, suku, ras, bangsa yang berbeda-beda sifat dan karakternya ini, hanya bisa terwujud di dalam lingkup manusia yang telah mampu mengetahui dan mengenal dirinya di tahapan atau posisi dimanakah mereka berada saat ini, lalu berusaha melakukan perbaikan dirinya dengan segala bentuk perjuangannya untuk kembali ke fitrahnya sebagai makhluk sosial, dan yang telah mengetahui visi dan misinya dari perwujudan fitrahnya sebagai manusia yang merupakan makhluk sosial. Bukankah manusia diturunkan ke bumi untuk menjadi khilafah yang dapat menjadi rahmat dan berkah Tuhannya bagi semesta alam? Dan bukankah Rasulullah Muhammad (صلى الله عليه وسلم) juga pernah berkata bahwa sebaik-baiknya manusia diantara kamu adalah mereka yang paling banyak bermanfaat bagi umatnya?

 

يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقۡنٰكُمۡ مِّنۡ ذَكَرٍ وَّاُنۡثٰى وَجَعَلۡنٰكُمۡ شُعُوۡبًا وَّقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوۡا​ ؕ اِنَّ اَكۡرَمَكُمۡ عِنۡدَ اللّٰهِ اَ تۡقٰٮكُمۡ​ ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيۡمٌ خَبِيۡرٌ‏

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (saling memahami, saling mengasihi, saling menghargai dan saling menghormati). Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.”

(Al Qur’an Surah Al Hujurat ayat 13)

 

Pemaparan ringkas di atas itulah yang menjadi nilai-nilai dan falsafah hidup dari umat Rasulullah Muhammad (صلى الله عليه وسلم) yang autentik tentunya. Hujan pertama di masa Rasulullah dan sahabat-sahabatnya inilah yang menggetarkan bumi kala itu. Tiada satupun yang mampu membendung derasnya hujan yang mereka berikan kepada bumi. Memberikan kesuburan, kedamaian dan keindahan yang tiada terhingga pada bumi dan umat manusia pada saat itu, sehingga Islam begitu mudahnya menyatukan umat manusia, terlepas dari berbagai jenis dan bentuk perbedaan yang mereka miliki.

Karena hujan pertama telah turun membasuh bumi, dan seperti pernyataan Rasulullah (صلى الله عليه وسلم), bahwa hujan terakhir pun akan turun membasuh bumi dan Beliau pun tidak bisa membedakan mana yang lebih baik di antara keduanya, maka dengan demikian, sudah sepatutnyalah sebagai manusia yang mengklaim dirinya umat Rasulullah (صلى الله عليه وسلم), berjuang dengan segala tenaga dan kemampuan yang ia miliki, fungsi dan peranannya masing-masing untuk setidaknya berkontribusi dalam mewujudkan apa yang telah dinyatakan oleh Rasulnya (صلى الله عليه وسلم), bahwa hujan terakhir akan turun membasuh bumi yang kini sedang kekeringan lagi tandus ini. Insha Allah…

 

Oleh Awaluddin Pappaseng Ribittara

Recommended Posts