Tentang Kepemimpinan dalam Komunitas Eskatologi Islam

Secara tradisional, kita cenderung menyamakan kepemimpinan yang efektif dengan struktur hirarkis yang tersentralisasi, di mana otoritas pengambilan keputusan terpusat di puncak. Tidak ada yang bermasalah dengan model ini dalam konteks yang sebenarnya. Namun, berdasarkan hasil diskusi dengan Maulana Imran Nazar Hosein beberapa tahun yang lalu, kami ingin menunjukkan pandangan kami tentang manfaat dari sistem desentralisasi, seperti ‘bintang laut‘, yang menunjukkan ketahanan yang luar biasa karena mereka tidak bergantung pada satu pemimpin atau otoritas terpusat. Sebaliknya, kekuasaan dan pengaruh didistribusikan ke seluruh jaringan, dan setiap “cabang” atau komponen sistem dapat bertindak secara independen sambil tetap menjadi bagian dari keseluruhan yang lebih besar. Ketika diterapkan pada komunitas eskatologis, hal ini menunjukkan bahwa “kurangnya kepemimpinan” yang dirasakan, sebenarnya mungkin bukan merupakan sebuah kekurangan, melainkan lebih merupakan kesempatan untuk memanfaatkan kekuatan keterlibatan yang terdesentralisasi. Kami tidak menganjurkan untuk menerapkan ide ini secara kaku dalam konteks komunitas, karena ada lebih banyak manfaat dalam pendekatan yang bersifat kolaboratif.

Pandangan bahwa “setiap orang berjalan dengan caranya sendiri, dan keyakinannya sendiri” di komunitas eskatologi islam dapat dibingkai ulang melalui sudut pandang desentralisasi sebagai sebuah kekuatan dan bukan kelemahan. Dalam organisasi tanpa pemimpin, koherensi dan kesuksesan dicapai bukan melalui mandat dari atas ke bawah, melainkan melalui terciptanya nilai-nilai bersama, tujuan bersama, dan kolaborasi organik di antara para anggotanya (jamaahnya). Daripada mengupayakan figur kepemimpinan tunggal atau doktrin yang seragam, komunitas dapat merangkul model di mana individu-individu bertindak sebagai katalisator, dimana mereka yang menginspirasi dan memengaruhi orang lain tanpa menggunakan kontrol (kendali penuh), sehingga menumbuhkan kolektif (kebersamaan) yang dinamis dan mudah beradaptasi.

Kami percaya ini adalah ide inti dari Hilf al-Fudul yang merupakan aliansi atau konfederasi Penegakan Keadilan yang diikuti oleh Nabi salallahu wa alayhi wa sallam di Mekkah sekitar tahun 590 Masehi, sebagai pengganti dari sebuah pemerintahan, Beliau kemudian membicarakannya dengan penuh rasa hormat dan mengatakan bahwa Beliau akan mendukungnya. Faktanya, Aliansi untuk Penegakan Keadilan ini bukan diciptakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam yang kita cintai. Melainkan, ini adalah ide dari Zubair Ibn Abdul Muthalib dan terjadi di rumah Abdullah Ibn Jadan. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam ikut serta dalam sumpah tersebut untuk membawa keadilan bagi kaum tertindas.

Struktur yang terdesentralisasi akan mendorong beragam interpretasi dan pendekatan terhadap eskatologi islam, yang dapat hidup berdampingan dan bahkan memperkuat satu sama lain, seperti halnya cabang-cabang bintang laut yang bekerja secara independen namun serempak. Kami juga akan mengarahkan untuk menganalisis hadits di mana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Orang-orang mukmin dalam hal kebaikan, kasih sayang, dan simpati, mereka bagaikan satu tubuh. Ketika salah satu anggota tubuh menderita, seluruh tubuh akan merasakannya dengan perasaan gelisah dan demam (meriang)”.

Mengenai struktur kepemimpinan, sentralisasi dan desentralisasi ini sebenarnya mengacu pada sebuah hadits terkenal dari seorang khir Al Zaman ketika Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

(قالَ: غيرُ الدَّجَّالِ أخوَفُني عليكُم: إن يخرُج وأَنا فيكُم فأَنا حجيجُهُ دونَكُم، وإن يخرُجُ ولستُ فيكم، فامرؤٌ حجيجُ نفسِهِ، واللَّهُ خَليفتي على كلِّ مسلمٍ)

“Bukanlah Dajjal yang paling aku takuti dari kalian. Jika ia muncul ketika aku ada di tengah-tengah kalian, maka aku akan memeranginya mewakili kalian. Tetapi jika ia muncul ketika aku tidak berada di tengah-tengah kalian, maka setiap orang akan memeranginya untuk dirinya sendiri, dan Allah yang akan menjadi penggantiku bagi masing-masing orang Muslim.”

Untuk mengatasi kekhawatiran akan fragmentasi dalam komunitas eskatologis, fokusnya harus bergeser dari mencari otoritas yang terpusat atau keseragaman dalam kepercayaan menjadi menumbuhkan jaringan individu dan kelompok yang terdesentralisasi namun saling terhubung. Model ini menawarkan solusi yang menjanjikan, karena setiap individu dapat berkontribusi pada pemahaman yang lebih luas, sementara rasa saling menghormati terhadap perspektif yang beragam memungkinkan komunitas untuk tumbuh secara alami. Model prophetic (kenabian) pada umat saat ini menunjukkan bahwa daripada mencoba untuk memaksakan kepemimpinan tunggal atau sistem kepercayaan, komunitas harus mengembangkan kerangka kerja di mana dialog, kolaborasi, dan eksplorasi bersama dari tema-tema eskatologis dapat berkembang dengan cara yang terdesentralisasi namun tetap koheren.

“Adalah tugas umat Islam, di era pasca-Kekhalifahan ini, untuk mengorganisir diri mereka secara kolektif sebagai satu Jama’at yang otentik di mana pun mereka berada.”

– Imran Nazar Hosein

Oleh karena itu, kepemimpinan hendaknya berada di setiap kelompok-kelompok jamaah dimanapun mereka berada, atau dengan kata lain, kepemimpinan baru bisa lahir dari Jamaah yang telah terbentuk.

Wallahu ‘alam…

Artikel ini adalah rangkuman dari hasil diskusi dari peserta institusi online Eskatologi Islam.

Editorial oleh Awaluddin Papaseng Ribittara

Recommended Posts