“Kata-Kataku Bagaikan Gugusan Bintang – Mereka Tidak Akan Terbenam.” Chief See-at-hl

Orang Prancis memiliki pepatah: ‘plus ça change, plus c’est la meme chose’, yaitu semakin banyak (yang tampaknya) berubah – semakin banyak pula (pada hakikatnya) tetap sama.

“Umat Muslim telah dibantai di Afganistan, Pakistan Barat Laut, Irak, Somalia dan di tempat lain, dan kami mengantisipasi lebih banyak lagi hal yang sama “dari sungai Mesir ke sungai Efrat yang besar” serta di Venezuela, Bolivia, Iran dan di tempat lain. Namun masih banyak yang tidak mengakui kepalsuan dari klaim bahwa semua intimidasi, pertumpahan darah, dan pembantaian massal dilakukan atas nama penegakan demokrasi. Sebenarnya substansi aliansi Yahudi-Kristen Eropa yang mendorong tatanan dunia Anglo-Amerika-Israel yang biadab saat ini tampaknya tidak berubah dalam 150 tahun terakhir. Perhatikan pidato berikut di bawah ini dari Chief See-at-hl, yang disampaikan dalam pidato yang ditujukan kepada Presiden Amerika pada tahun 1855. Pidato yang serupa ini sebenarnya bisa saja disampaikan oleh Malcolm X 100 tahun kemudian pada tahun 1955. Dan jika kita memiliki kepiawaian seperti kedua tokoh tersebut, kita bisa saja mengucapkan kata-kata yang sama hari ini, 150 tahun kemudian, di dunia yang sekarang diperintah oleh penguasa-budak berkulit putih yang sama, yang sekarang bersembunyi di balik wajah kulit hitam yang polos dan lugu.”

Imran N. Hosein

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada murid saya, Siti Rabeah Abdul Malek (Umm Ridwan), yang dengan sangat baik hati telah mengarahkan perhatian saya pada pidato yang luar biasa ini.

——–

Chief See-at-hl [1790 – 1866]
“Panglima Tertinggi di Washington mengirimkan kabar bahwa ia ingin membeli tanah kami. Panglima Tinggi itu juga mengirimkan kata-kata persahabatan dan niat baik kepada kami. Ini adalah kebaikannya karena kami tahu dia tidak terlalu membutuhkan persahabatan kami sebagai balasannya. Tetapi kami akan mempertimbangkan penawarannya karena kami tahu bahwa jika kami tidak melakukannya, orang kulit putih mungkin datang dengan senjata dan mengambil tanah kami. Apa yang dikatakan Kepala Suku See-at-hl, Panglima Tertinggi di Washington dapat diandalkan, sama benarnya dengan saudara-saudara kulit putih kami yang dapat mengandalkan kembalinya pergantian musim.

Kata-Kataku Bagaikan Gugusan Bintang – Mereka Tidak Akan Terbenam.

Bagaimana bisa Anda membeli atau menjual langit – harmoni dari sebuah negeri? Gagasan itu aneh bagi kami. Namun kami tidak memiliki sejuknya udara atau kemilau air. Bagaimana bisa Anda membelinya dari kami? Kami akan mengambil keputusan pada masa kami. Setiap bagian dari bumi ini adalah sakral bagi bangsaku. Setiap batang pinus yang bersinar, setiap pantai berpasir, setiap kabut di hutan yang gelap, setiap tempat terbuka dan serangga yang bersenandung adalah suci dalam ingatan dan pengalaman kaumku. Getah yang mengalir melalui pohon-pohon membawa kenangan dari bangsa kulit merah.

Orang kulit putih yang meninggal telah melupakan tanah kelahiran mereka ketika mereka pergi mengembara di antara bintang-bintang. Kaum kami yang telah meninggal tidak akan pernah melupakan keindahan dari negeri kami ini, karena bumi adalah ibu dari kaum kulit merah. Kita adalah bagian dari bumi dan bumi adalah bagian dari kita. Bunga-bunga yang wangi adalah saudara perempuan kami; rusa, kuda, elang besar, mereka adalah saudara-saudara kami; puncak-puncak berbatu, biji-bijian di padang rumput, kehangatan tubuh dari kuda poni, dan manusia – semuanya termasuk dalam keluarga kami. Jadi ketika Panglima Tinggi di Washington mengirimkan kabar bahwa ia ingin membeli tanah kami, ia telah meminta banyak hal dari kami.

Sang Panglima Tertinggi mengirimkan pesan bahwa ia akan menyediakan tempat bagi kami sehingga kami dapat hidup dengan nyaman untuk diri kami sendiri. Ia akan menjadi ayah kami dan kami akan menjadi anak-anaknya. Tapi mungkinkah itu akan terwujud? Tuhan mencintai kaum Anda, tetapi telah menelantarkan anaknya yang berkulit merah. Dia mengirimkan mesin-mesin untuk membantu orang kulit putih dengan pekerjaannya, dan membangun desa-desa besar untuknya. Dia membuat bangsamu lebih kuat setiap hari. Tak lama lagi engkau akan membanjiri tanah seperti sungai-sungai yang mengalir deras di ngarai-ngarai setelah hujan yang deras. Tetapi bangsaku adalah air pasang yang surut. Kami tidak akan pernah kembali. Tidak, kami adalah ras yang terpisah. Anak-anak kami tidak bermain bersama, dan orang-orang tua kami menceritakan kisah-kisah yang berbeda. Tuhan berpihak kepada Anda, dan kami adalah yatim piatu.

Jadi kami akan mempertimbangkan tawaran Anda untuk membeli tanah kami. Tapi itu tidak akan mudah. Karena tanah ini suci bagi kami. Kami sangat mencintai hutan ini. Saya tidak tahu. Jalan kami berbeda dengan jalan Anda.

Air yang berkilau yang bergerak di sungai-sungai ini bukan hanya sekedar air, tetapi juga darah nenek moyang kami. Jika kami menjual tanah ini kepada Anda, Anda harus ingat bahwa tanah itu suci, dan Anda harus mengajarkan kepada anak-anak Anda bahwa tanah itu suci, dan bahwa setiap pantulan cahaya dan bayangan di air jernih sungai-sungai itu menceritakan peristiwa-peristiwa dan kenangan-kenangan dalam kehidupan rakyat kami. Gemericik air adalah suara dari leluhur ayah kami. Sungai-sungai adalah saudara-saudara kami, mereka  memuaskan dahaga kami. Sungai-sungai membawa kano kami, dan memberi makanan anak-anak kami. Jika kami menjual tanah kami kepadamu, kamu harus ingat, dan ajarkan kepada anak-anakmu, bahwa sungai-sungai itu adalah saudara kami, dan saudara kamu, dan kamu harus seterusnya memberikan sungai-sungai itu kebaikan layaknya yang akan kamu berikan kepada saudaramu yang lain.

Orang berkulit merah selalu mundur di hadapan orang kulit putih yang semakin pesat kemajuamnya, seperti kabut pegunungan yang berjalan di hadapan matahari pagi. Tetapi abu dari nenek moyang kami adalah suci. Kuburan mereka adalah tanah suci; dan begitu juga bukit-bukit ini, pohon-pohon ini, bagian bumi ini dikuduskan untuk kami. Kami tahu bahwa orang kulit putih tidak memahami cara-cara kami. Bagi mereka, satu bagian dari tanah ini sama seperti bagian yang lain, karena dia adalah orang asing yang datang di malam hari dan mengambil apa pun yang dia butuhkan dari tanah ini. Bumi bukanlah saudaranya tetapi musuhnya, dan ketika ia telah menaklukkannya, ia pun berpindah. Ia meninggalkan kuburan nenek moyangnya dan ia tidak peduli. Kuburan ayah-ibunya dan hak kelahiran anak-anaknya dilupakannya. Ia memperlakukan ibunya, bumi, dan saudaranya, langit, sebagai sesuatu yang bisa dibeli, dirampas, dijual seperti domba atau manik-manik yang berkilau. Seleranya akan melahap bumi dan hanya meninggalkan gurun pasir.

Saya tidak tahu. Jalan kami berbeda dengan jalan Anda. Pemandangan kota-kota Anda menyakitkan mata orang kulit merah. Tetapi mungkin itu karena orang kulit merah adalah orang biadab dan tidak mengerti. Tidak ada tempat yang tenang di kota-kota orang kulit putih, tidak ada tempat untuk mendengar dedaunan yang terbentang di musim semi, atau gemerisik sayap serangga. Tetapi mungkin karena saya orang biadab dan tidak mengerti – suara riuh itu hanya terkesan menghina telinga. Dan apa artinya hidup jika seseorang tidak bisa mendengar indahnya senandung burung perkutut, atau percakapan katak-katak di sekitar kolam pada malam hari? Saya memang orang kulit merah dan tidak mengerti.

Suku Indian lebih menyukai suara lembut angin yang berhembus di atas permukaan kolam, dan aroma angin itu sendiri yang tersapu bersih oleh hujan di siang hari, atau beraroma pinus cemara. Udara sangat berharga bagi orang kulit merah. Karena segala sesuatunya berbagi nafas yang sama – binatang buas, pohon-pohon, manusia. Mereka semua berbagi nafas yang sama. Orang kulit putih tampaknya tidak memperhatikan udara yang dihirupnya. Seperti orang yang sekarat selama berhari-hari, dia mati rasa terhadap bau busuknya sendiri. Tetapi jika kami menjual tanah kami kepada Anda, Anda harus ingat bahwa udara sangat berharga bagi kami, bahwa udara berbagi energi dengan semua kehidupan yang ditopangnya. Angin yang memberi kakek kami nafas pertamanya juga menerima hembusan nafas terakhirnya. Dan angin juga harus memberikan semangat hidup kepada anak-anak kami. Dan jika kami menjual tanah kami kepada Anda, Anda harus menjaganya agar tetap terpisah dan sakral, sebagai tempat di mana bahkan orang kulit putih pun dapat pergi untuk menikmati angin yang semerbak oleh bunga-bunga di padang rumput.

Jadi kami akan mempertimbangkan tawaran Anda untuk membeli tanah kami. Jika saya memutuskan untuk menerimanya, saya akan membuat satu syarat. Orang kulit putih harus memperlakukan binatang buas di tanah ini sebagai saudara-saudaranya. Saya seorang biadab dan tidak mengerti cara lain. Saya telah melihat seribu kerbau yang membusuk di padang rumput, yang ditinggalkan oleh orang kulit putih yang menembaknya dari kereta api yang melintas. Saya seorang biadab dan tidak mengerti bagaimana kuda besi yang berasap bisa lebih penting daripada kerbau yang kita bunuh hanya sekedar untuk hidup. Apa artinya manusia tanpa binatang buas? Jika semua binatang buas hilang, manusia akan mati karena kesepian batin yang luar biasa, karena apa pun yang terjadi pada binatang buas juga terjadi pada manusia. Semua makhluk hidup saling berkaitan. Apa pun yang menimpa bumi juga akan menimpa anak-anak bumi.

Anda harus mengajarkan kepada anak-anak Anda bahwa tanah di bawah kaki mereka adalah abu dari kakek-kakek kita. Agar mereka menghormati tanah, beritahu anak-anakmu bahwa bumi kaya dengan kehidupan kerabat kita. Ajarkan kepada anak-anakmu apa yang telah kami ajarkan kepada anak-anak kami, bahwa bumi adalah ibu kami. Apa pun yang menimpa bumi, juga menimpa putra-putra bumi. Jika manusia meludahi bumi, mereka meludahi diri mereka sendiri. Ini yang kita ketahui. Bumi bukan milik manusia; manusia adalah milik bumi. Ini yang kami ketahui. Segala sesuatu terhubung seperti darah yang menyatukan satu keluarga. Segalanya terhubung. Apa pun yang menimpa bumi akan menimpa putra-putri bumi. Manusia tidak menenun jaring kehidupan; ia hanyalah sehelai benang di dalamnya. Apa pun yang ia lakukan terhadap jaring kehidupan, ia juga melakukannya terhadap dirinya sendiri.

Tidak, siang dan malam tidak bisa hidup bersama. Orang kami yang telah meninggal pergi untuk tinggal di sungai-sungai yang indah di bumi, mereka kembali dengan langkah kaki yang sunyi di musim semi, dan itu adalah roh mereka, yang bertiup bersama angin, yang menggetarkan permukaan telaga-telaga.

Kami akan mempertimbangkan mengapa orang kulit putih ingin membeli tanah itu. Apa yang ingin dibeli oleh orang kulit putih, orang-orang saya bertanya kepada saya. Gagasan itu aneh bagi kami. Bagaimana Anda bisa membeli atau menjual langit, kehangatan tanah, ketangkasan sang rusa? Bagaimana kami bisa menjual hal-hal ini kepadamu dan bagaimana kamu bisa membelinya? Apakah bumi menjadi milikmu untuk kamu gunakan sesuka hatimu, hanya karena orang kulit merah menandatangani selembar kertas dan memberikannya kepada orang kulit putih? Jika kami tidak memiliki sejuknya udara dan kemilau air, bagaimana kalian bisa membelinya dari kami? Dapatkah Anda membeli kembali kerbau, setelah kerbau terakhir dibunuh? Tetapi kami akan mempertimbangkan tawaran Anda, karena kami tahu bahwa jika kami tidak menjualnya, orang kulit putih akan datang dengan senjata dan mengambil paksa tanah kami. Tetapi kami primitif, dan pada saat kekuatannya lewat, orang kulit putih berpikir bahwa dia adalah dewa yang telah menguasai bumi. Bagaimana bisa seorang anak menguasai ibunya?

Tetapi kami akan mempertimbangkan tawaran Anda untuk membeli tanah kami. Siang dan malam tidak bisa hidup bersama. Kami akan mempertimbangkan tawaran Anda untuk pergi ke pemukiman yang Anda sediakan untuk orang-orang saya. Kita akan hidup terpisah, dan dalam kedamaian. Tidak penting di mana kami menghabiskan sisa hari-hari kami. Anak-anak kami telah melihat ayah mereka dipermalukan dalam kekalahan. Pejuang kami telah merasa terhina. Dan setelah kekalahan, mereka menghabiskan hari-hari mereka dalam kemalasan dan mencemari tubuh mereka dengan makanan manis dan minuman keras. Tidak penting di mana kami menghabiskan sisa hari-hari kami – sisa hari kami tidak banyak. Beberapa jam lagi, beberapa musim dingin lagi, dan tak seorang pun dari anak-anak suku-suku besar yang pernah hidup di tanah ini, atau yang berkeliaran dalam gerombolan-gerombolan kecil di hutan, akan berkabung di kuburan orang-orang yang pernah sekuat dan penuh harapan seperti Anda. Tetapi mengapa saya harus meratapi kepergian suku-suku saya? Suku-suku terbuat dari manusia, tidak lebih. Manusia datang dan pergi seperti ombak laut. Bahkan orang kulit putih, yang tuhannya berjalan dan berbicara dengannya layaknya teman dengan teman, terbelenggu dari takdir bersama. Kita bisa saja menjadi saudara pada akhirnya; kita akan lihat nanti.

Satu hal yang kami ketahui yang mungkin suatu hari nanti akan ditemukan oleh orang kulit putih. Tuhan kita adalah Tuhan yang sama. Anda mungkin berpikir sekarang bahwa Anda memiliki Dia seperti Anda ingin memiliki tanah kami. Tetapi Anda tidak bisa. Dia adalah Tuhan manusia. Dan belas kasihan-Nya sama bagi orang kulit merah dan kulit putih. Bumi ini sangat berharga bagi-Nya, dan merusak bumi berarti menumpahkan penghinaan kepada Penciptanya. Orang kulit putih juga pasti akan berlalu – mungkin lebih cepat daripada suku-suku lainnya. Teruslah mencemari tempat tidur Anda, dan pada suatu malam Anda akan mati lemas di dalam limbah Anda sendiri.

Tetapi di dalam kebinasaan Anda, Anda akan bersinar terang, dibakar oleh kuasa Tuhan yang membawa Anda ke negeri ini dan untuk suatu tujuan khusus memberi Anda kekuasaan atas negeri ini dan atas orang-orang kulit merah. Takdir itu adalah misteri bagi kami, karena kami tidak mengerti. Ketika semua kerbau disembelih, kuda-kuda liar dijinakkan, sudut-sudut rahasia di hutan yang sarat dengan aroma berbagai macam manusia, dan pemandangan bukit-bukit yang telah ranum terhalang oleh kabel-kabel yang berbicara, di manakah semak belukar itu? Hilang. Di mana elang? Hilang. Dan apa artinya mengucapkan selamat tinggal pada si penunggang dan si pemburu? Akhir dari sebuah kehidupan dan awal dari proses bertahan hidup.

Tuhan memberimu kekuasaan atas binatang buas, hutan, dan orang berkulit merah, dan untuk beberapa tujuan khusus, tetapi takdir itu adalah misteri bagi orang berkulit merah. Kita mungkin mengerti jika kita tahu apa yang diimpikan oleh orang kulit putih, harapan apa yang dia gambarkan kepada anak-anaknya pada malam-malam musim dingin yang panjang, visi apa yang dia bakar ke dalam pikiran mereka sehingga mereka akan berangan-angan untuk hari esok. Tetapi kita adalah orang biadab. Mimpi orang kulit putih tersembunyi dari kami. Dan karena mereka tersembunyi, kami akan menempuh jalan kami sendiri. Karena di atas segalanya, kami menghargai hak setiap orang untuk hidup sesuai keinginannya, betapapun perbedaannya dengan saudara-saudaranya. Ada sedikit persamaan di antara kita.

Jadi kami akan mempertimbangkan tawaran Anda untuk membeli tanah kami. Jika kami setuju, itu akan mengamankan pemukiman yang telah Anda janjikan. Di sana, mungkin, kami dapat menjalani hari-hari singkat kami seperti yang kami inginkan. Ketika orang-orang berkulit merah terakhir telah lenyap dari bumi, dan ingatannya hanya tinggal bayangan awan yang bergerak melintasi padang rumput, pantai-pantai dan hutan-hutan ini masih akan menyimpan roh-roh bangsaku, karena mereka mencintai bumi ini seperti bayi yang baru lahir mencintai detak jantung ibunya.

Jika kami menjual tanah kami kepadamu, cintailah tanah ini seperti kami mencintainya. Rawatlah seperti kami merawatnya. Peganglah dalam pikiranmu kenangan akan tanah ini sebagaimana adanya ketika kamu mengambilnya. Dan dengan segenap kekuatanmu, dengan segenap keperkasaanmu, dan dengan segenap hatimu – peliharalah tanah itu untuk anak-anakmu, dan cintailah tanah itu sebagaimana Tuhan mencintai kita semua. Satu hal yang kami ketahui – Tuhan kita adalah Tuhan yang sama. Bumi ini sangat berharga bagi-Nya. Bahkan orang kulit putih pun tidak bisa dibebaskan dari takdir bersama. Kita mungkin saja bersaudara pada akhirnya. Kita lihat saja nanti.”

[Teks pidato diambil dari The Next World Order oleh Ahmad Thomson, hal.493-499, Al-Aqsa Press, 1994, Beirut]

 

Diterjemahkan Oleh Awaluddin Pappaseng Ribittara

 

Print Friendly, PDF & Email

Recommended Posts