Sebuah ‘obsesi’ yang aneh terhadap Islam yang menjelaskan perang tanpa henti tatanan dunia Euro terhadap Islam dan pertanyaan-pertanyaan menggelitik yang terus diajukan tentang kegagalan yang tiada henti dalam membangun demokrasi konstitusional di dunia Muslim. Kami percaya bahwa penjelasan atas ‘obsesi’ aneh tersebut terletak pada pandangan Islam tentang Akhir Sejarah, dan, khususnya, pada nubuat-nubuat di dalam Alkitab dan Al Qur’an tentang Yakjuj dan Makjuj.
Namun, kami menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengingatkan para kritikus bahwa demokrasi politik modern berasal dari peradaban Barat sekuler modern, dan membutuhkan adopsi sekularisme politik sebagai dasar pembentukan pemerintahan dan Negara. Sekularisme politik, bagaimanapun, seperti semua penerapan sekularisme lainnya, menyangkal peran agama dalam tatanan publik. Hal ini, pada gilirannya, memfasilitasi kemunduran agama dan nilai-nilai moral absolut, dan, di seluruh dunia, telah menyebabkan munculnya nilai-nilai sekuler yang terus berubah dan, pada akhirnya, menjadi cara hidup yang pada dasarnya tidak bertuhan.
Mari kita mengingat kembali bahwa ketika Inggris menjajah negara-negara seperti India, mereka menemukan Muslim dengan budaya politik yang pada dasarnya berasal dari Islam. Pemerintahan kolonial Inggris memberlakukan sekularisme politik Eropa ‘dengan mata pedang’ sebagai alternatif dari Islam. Baik umat Hindu maupun Muslim pada akhirnya menentang ‘sekularisme’ agama Eropa yang baru, dan berusaha untuk memulihkan dan melestarikan budaya politik asli mereka sendiri. Hal ini pada akhirnya menyebabkan, dan yang mengkhawatirkan bagi Inggris, sebuah aliansi politik yang tidak diinginkan antara umat Islam dan Hindu dalam apa yang disebut Gerakan Khilafat – sebuah perjuangan untuk melestarikan institusi Kekhalifahan Islam yang terletak di jantung budaya politik umat Islam. Gandhi sendiri menjalin aliansi dengan Gerakan Khilafat Muslim karena ia, juga, ingin mengembalikan (bagi umat Hindu) budaya politik Hindu asli dan model Negara Hindu.
Gerakan Khilafat mengancam untuk menggulingkan seluruh sistem sekularisme politik Eropa dan demokrasi konstitusional yang dipaksakan oleh kolonial Barat kepada dunia non-Kulit Putih. Maka disusunlah strategi Inggris, bekerja sama dengan Republik Turki sekuler Mustafa Kamal yang baru saja berdiri, untuk menghapuskan Kekhalifahan Turki dan, dengan demikian, menyabotase dan meruntuhkan Gerakan Khilafah dengan aliansi Hindu-Muslim yang mengkhawatirkan. Strategi ini pun berhasil. Kekhalifahan dihapuskan di Turki pada bulan Maret 1924. Pada akhir tahun yang sama, kepemimpinan Muslim India yang lama, yang terdiri dari orang-orang yang mengenal dan menghayati Islam, mengalami kemerosotan yang tidak dapat dipulihkan. Mereka digantikan oleh ‘Liga Muslim India’ yang cenderung sekuler, dipimpin oleh orang-orang yang tidak mengenal dan menghayati Islam. Mereka mengarahkan peralihan yang terselubung secara cerdik dari Islam sebagai dasar budaya politik, ke sekularisme politik Eropa yang baru. Hal ini didukung oleh semangat nasionalisme religius, dan muncul sebagai makhluk aneh bernama ‘nasionalisme Muslim’. Perpindahan dari satu ke yang lain begitu cerdik disamarkan sehingga tidak dapat disadari oleh banyak Muslim di India, Pakistan dan Bangladesh.
Sejarah pergolakan demokrasi konstitusional Eropa yang sekuler di dunia Muslim tidak dapat dipahami tanpa adanya pengakuan terhadap upaya perubahan mendasar dalam budaya politik dari Islam ke model sekularisme politik Eropa. Memang, peralihan dari yang satu ke yang lain belum tercapai dengan sempurna, bahkan di Pakistan atau Turki. Berkali-kali pandangan keagamaan masyarakat Muslim di Afrika, dunia Arab, Asia Selatan dan Asia Tenggara, dan lain-lain, telah mempengaruhi kehidupan politik sedemikian rupa sehingga Barat terpaksa terus menerus menggunakan cara-cara yang licik, termasuk kekerasan dan barbarisme di Irak dan Afganistan saat ini, untuk menggagalkan upaya mengembalikan Islam sebagai dasar pemerintahan.
Akankah masyarakat Muslim menjadi sekuler dan demokrasi konstitusional akhirnya didirikan di dunia Muslim? Atau, akankah takdir menjadi saksi pemulihan Khilafah Islamiyah?
Sebelum kita mencoba menjawab pertanyaan yang sangat menarik yang pada akhirnya akan muncul di jantung wacana politik dalam hubungan internasional kontemporer, mari kita jelaskan secara singkat tentang Khilafah atau model pemerintahan dan Negara Islam (Sunni).
Mungkin akan mengejutkan beberapa pembaca kami jika mengetahui bahwa Islam tidak pernah mengklaim sebagai agama baru. Sebaliknya, Islam secara konsisten menyatakan bahwa Islam adalah agama asli yang dibawa oleh Ibrahim, Musa, Daud, Sulaiman, dan Yesus (damai dan berkah Allah atas mereka semua).
Oleh karena itu, wajar jika Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) melestarikan model pemerintahan dan negara yang telah dibangun oleh para Nabi-Raja, Daud (‘alaihissalam) dan Sulaiman (‘alaihissalam) di Negara Suci Israel. Apakah model itu?
Pertama, budaya politik di Israel Suci tidak mentolerir pemisahan sekuler antara politik dan agama. Baik pada masa Daud (as) maupun Sulaiman (as), kepala agama/spiritual masyarakat (yaitu Nabi), juga merupakan Raja atau Kepala Negara.
Kedua, pemerintahan dan Negara mengakui Allah sebagai Penguasa (al-Malik), dan bagi-Nya adalah Kerajaan (al-Mulk), dan karenanya Israel adalah Kerajaan Allah di muka bumi.
Ketiga, otoritas dan hukum Allah adalah yang tertinggi dalam model Negara ini.
Di sisi lain, dalam model Eropa sekuler, kedaulatan diambil dari Tuhan dan diberikan kepada pemerintahan dan Negara. Ini adalah penghujatan (Syirik). Tuhan selanjutnya dilucuti dari otoritas tertinggi dan hukum dan ini, juga, diberikan kepada rakyat dan Negara, dan dilembagakan dalam pemerintahan sekuler (administrasi, peradilan dan legislatif).
Hal ini juga merupakan penghujatan (syirik). Orang-orang tidak hanya mengambil alih kekuasaan tertinggi dan menetapkan hukum buatan mereka sendiri sebagai hukum tertinggi, mereka bahkan secara gegabah dan sembrono menghalalkan apa yang dilarang oleh Allah. Contohnya, larangan Ilahi untuk ‘meminjamkan uang dengan bunga’, perjudian, lotere, dll. Al-Qur’an telah menggambarkan semua upaya untuk ‘mempermainkan Tuhan’ ini sebagai penghujatan (Syirik), yang merupakan dosa yang telah diperingatkan oleh Allah SWT bahwa Dia tidak akan pernah memaafkannya. Saya kira seseorang akan menanggapinya dengan menuduh Tuhan sebagai fundamentalis.
Ketika suatu kaum berpaling dari Tuhan, seperti yang pasti terjadi dalam sekularisme politik dan Negara sekuler, Al-Qur’an telah memperingatkan bahwa mereka pada akhirnya akan melupakan-Nya dan akan membayar harga untuk melupakan diri mereka sendiri (yaitu, status kemanusiaan mereka). Perilaku mereka pada akhirnya akan menjadi lebih buruk dari hewan liar. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menubuatkan bahwa mereka pada akhirnya akan melakukan hubungan seksual di depan umum seperti keledai. Ada banyak bukti bahwa masyarakat umum di zaman modern yang “progresif” ini sedang menuju ke arah sana atau bahkan sudah berada di era tersebut dan pemenuhan nubuatan tentang perilaku seks bebas mereka di tempat umum telah terbukti kebenarannya.
Khilafah Islam sama sekali tidak berbeda dengan model Negara Suci Israel, kecuali bahwa Nabi Muhammad (saw), sang Nabi/Kepala Negara, diakui sebagai Hamba Allah dan bukannya sebagai Raja!
Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah menubuatkan bahwa Khilafat Islam akan dipulihkan pada saat Yesus (Isa) ‘alaihissalam kembali. Saya meyakini bahwa kita saat ini sedang menunggu tidak lebih dari beberapa dekade untuk menyaksikan kembalinya Yesus (Isa) Al Masih ‘alaihissalam dan pemulihan model Negara Islam (Khilafah).
Buku saya, ‘Yerusalem dalam Al-Qur’an‘ telah menjelaskan hal ini.
Imran N. Hosein
Editorial dan Terjemahan oleh Awaluddin Pappaseng Ribittara